Penjelasan Lengkap Tentang Paradigma Hukum Perburuhan

Paradigma Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Memandang Hukum Perburuhan dari beberapa sudut pandang berarti menjelaskan Hukum Perburuhan dari beberapa sudut. Dalam hal ini Hukum Perburuhan terdapat tiga topik permasalaha sudut pandang, yaitu: ilmu kaidah hukum perburuhan, ilmu pengertian hukum perburuhan dan filsafat hukum perburuhan.

1. Ilmu Kaidah Hukum Perburuhan
Ilmu Kaidah Hukum Perburuhan di sini berkaitan erat dengan jenis-jenis kaidah hukum perburuhan serta bagaiman kalau terjadi penyimpangan terhadap kaidah itu sendiri. Dilhat dari Ilmu Kaidah Hukum Perburuhan, maka kaidah hukum perburuhan terdiri dari:
  • Kaidah Otonom
    Kaidah otonom adalah ketentuan-ketentuan hukum di bidang perburuhan yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan kerja, yaitu: Buruh/Pekerja dengan Pengusaha. Bentuk kaidah otonom disini meliputi Perjanjian kerja,peraturan Perusahaan (PP) dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), atauKebiasaanyangtelahmenjadiHukum(Customary Law).
  • Kaidah Heteronom
    Kaidah heteronom adalah ketentuan-ketentuan hukum di bidang perburuhan yang dibuat oleh Pihak Ketiga yang beradadi luar para pihak yang teriktadalam suatu hubungan kerja. Pihak ketiga yang paling dominan di sini adalah Pemerintah/Negara. Olehkarena itu, bentuk kadiah heteronom adalah semua peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan yang diterapkan oleh Pemerintah/Negara yang sah. Misalnya: Undang-undang, Peraturan pemerintah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Pearturan Gubernur atau Pearturan Daerah, Traktat Bilateral ataupun Multilateral berupa MOU atau ILO Core Convention, Convensi PBB.
Penyimpangan Kaidah Otonom terhadap Kaidah heteronom dimungkinkan dengan syarat bahwa penyimpangan tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai ketentuan dalam kaidah heteronom. Maksudnya, ketentuan tersebut seyogyanya lebih menguntungkan buruh. Misalnya Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja, atau suatu Kebiasaan mengatur ketentuan tentang cuti tahunan sebesar 15 (lima belas) hari sedangkan menurut Undang-Undang 13 Tahun 2003 mengatur 12 (duabelas) hari,. 

Maka yang berlaku adalah Perjanjian Kerja Bersama, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, dan kebiasaan,sedangkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 yang mengatur 12 (dua belas) hari kerja tersebut tidak mengikat para pihak. Sebaliknya jika dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, dan kebiasaan lebih rendah nilainya, misalnya, hak cuti tahunan 10 (sepuluh) hari kerja sedangkan dibandingkan Peraturan Perundang- undangan yang mengatur 12 (duabelas) hari kerja, maka yang berlaku adalah Peraturan Perundang- udangan. 

Penyimpangan juga terjadi di dalam kaidah otonom, misalnya antara Perjanjian Kerja dengan Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Kerja Bersama. Bahkan dalam kaidah heteronom sendiri juga terjadi penyimpangan,misalnya antara Peraturan Pemerintah dengan undang- undang atau Peraturan Menteri dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ilmu Hukum Perburuhan
Permasalahan hukum perburuhan dapat dilihat dari ilmu pengertian hukum perburuhan yang mencakup Masyarakat Hukum. Hak dan Kewajiban Hukum, Hubungan Hukum, Peristiwa Hukum, dan Objek Hukum.
  • Masyarakat Hukum
    Masyarakat Hukum yang Hak dan Kewajibannya. Hubungan Hukumnya, Peristiwa Hukumnya,dan Objek Hukumnya tunduk pada Hukum Perburuhan yang di sebut Masyarakat Industri.
    Dalam hal ini mencakup masyarakat yang mempunyai unsru- unsur sebagai berikut:
    • Buruh/Pekerja atau Serikat Buruh/Serikat Pekerja
    • Pengusaha atau Organisasi Pengusaha
    • Pemerintah
  • Hak dan Kewajiban Hukum
    Hak dan Kewajiban hukum yang diatur oleh Hukum Perburuhan meliputi:
    • Hak dan Kewajiban Buruh, Misalnya: menerima hak atas ganti rugi kecelakaan kerja, kewajiban mengenai alat-alat keselamatan kerja.
    • Hak dan Kewajiban Organisasi Perburuhan, misalnya: hak berunding (negosiasi) dan kewajiban untuk memelihara kedamaian.
    • Hak dan Kewajiban pengusaha, misalnya: memperoleh hasil kerja buruh dan kewajiban untuk membayar upah buruh.
    • Hak dan Kewajiban pemerintah, misalnya: mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum perburuhan, dan kewajiban untuk menindaklanjuti pelanggaran peraturan perundang-undangan perburuhan yang berlaku.
  • Hubungan Hukum
    Hubungan Hukum antara buruh/pekerja dengan pengusaha pada hakikatnya bersifat timpang. Artinya kewajiban pekerja/buruh lebih banyak dari Pengusaha, misalnya: Hak Pengusaha atas hasil kerja yang menjadi kewajiban buruh diringi oleh kewajiban-kewajiban pekerja/buruh lainnya, buruh wajib masuk kerja, buruh wajib mengenakan pakaian dinas dengan segala atributnya, buruh wajib masuk kerja jam 08.00 wib, buruh wajib mengisi daftar presensi, dan seterusnya.
    Hal ini disebabkan posisi buruh yang kurang beruntung dibandingkan dengan posisi pengusaha sebagai pemilik perusahaan. Lebih lanjut, dalam hubungan kerja antara buruh/pekerja dengan pengusaha adalah bersifat sub ordinasi (hubungan diperatas/vertical).Hal ini berbeda dengan hubungan hukum pada umumnya (dalam suatu perikatan) yang bersifat koordinasi(horizontal).

Semoga Bermanfaat...
Admin : Farah Hamzah, SH




Previous
Next Post »