Tonggak Sejarah Hukum Agraria Indonesia

Tonggak Sejarah Hukum Agraria Indonesia
Sebelum membahas Hukum Agraria/Hukum Pertanahan, semestinya mari lah kita terlebih dahulu mendalami apa sebenarnya manfaat sejarah1, karena kita sebagai mahasiswa fakultas hukum sebenarnya wajib mengetahui dan mempelajari sejarah hukum, disebabkan hukum itu tidak lepas dari sejarah dan melalui sejarah hukum pula kita akan mampu menelaah berbagai aspek hukum pada masa lalu, bahwa hukum saat ini merupakan lanjutan/perkembangan dari hukum masa lalu, sehingga hukum yang akan dating terbentuk dari hukum dari hukum sekarang.

Soedjono D. dalam Sunarmi (2016) sejarah hukum merupakan salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan da nasal usul system hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. Hal yang sama juga dinyatakan oleh R. Soeroso (2004) menyatakan bahwa sejarah hukum merupakan salah satu bidang ilmu hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul system hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. 

Sedangkan Munir Fuady (2009) menyatakan bahwa menyatakan bahwa, sejarah hukum merupakan suatu metode dan ilmu sejarah yang mempelajari, menganalisis, memverifikasi, menginterpretasi, menyusun  dalil dan kecendrungan, dan menarik kesimpulan tertentu tentang setiap fakta, konsep, kaidah, dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku, baik secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat serta ketersentuhannya dengan bidang lain dari hukum.

Berbicara masalah hukum Agraria/pertanahan tidak terlepas dari zaman kolonial (Zaman Hindia Belanda), pada zaman ini ada dikenal dengan tanah hak-hak barat, misalnya tanah hak eigendom, tanah erfacht, tanah opstal dan lainnya, akan tetapi ada pula tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia, misalnya tanah ulayat, hak milik, usaha, gogolan, bengkok, hak agrarische eigendom, dan lain-lain.

Tanah-tanah dengan hak Barat ini tunuduk pada peraturan- peraturan hukum agraria Barat, seperti mengenai cara perolehan, peralihan, hapusnya, pembebanannya dengan hak lain dan kewenangan serta kewajiban yang memilikinya. Sedangkan tanah-tanah dengan Indonesia, belum semuanya terdaftar, dan tidak semuanya ha katas tanah di Indonesia mempunyai status sebagai hak-hak asli adat, melainkan berstatus ciptaan pemerintah hal ini mengacu pada Pasal 51 I.S yang menyatakan bahwa “Tanah-tanah Indonesia tunduk pada hukum agraria adat, sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk hak-hak tertentu”

Sebelum berlakunya UUPA Nomor 5 tahun 1960 hukum agraria bersifat dualistis yaitu: 1) yang bersumber kapada hukum adat yakni berkonsopsi komunalistik religius; dan 2) bersumber pada hukum perdata Barat yakni bersifat individualistic-liberal dan ada pula berasal dari berbagai bekas Pemerintahan Swapraja, yang umumnya berkonsepsi feodal. (Boedi Harsono; 2005). Hal ini tidak memberikan jaminan adanya kepastian hukum.

Hukum agraria Barat ini berjiwa liberal indivualistis, dikarenakan menganut asas konkordansi11 dalam penyusunan perundang-undangan Hindia Belanda, begitu juga KUHPerdata Indonesia konkordansi dengan Burgelijk Wetboek Belanda, hal ini disusun berdasarkan Code Civil Perancis yang merupakan pengkondifikasian hukum perdata Perancis sesudah revolusi Perancis tahun 1789 (Eddy Ruchiyat; 2006).

Adapun hukum tanah administrative yang berlakau pada masa pemerintahan Hindia Belanda  yaitu:  1)  Agrarische  Wet 1870 yang diundangkan dalam S 1870-55 tahun 1870. Hal ini bertujuan untuk membuka dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta untuk dapat berkembang di Hindia Belanda. Adapun bentuk hak yang diberikan yaitu hak erpacht. 2) Agrarische Besluit yang diundangkan dalam S. 1780-118. 

Dalam Pasal 1 menyebutkan  bahwa  “semua  tanah  yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domain Negara. Ketentuan ini yang lebih tenar dikenal dengan sebutan Domien Verklaring. Fungsi domein verklaring ini yaitu: a) sebagai landasan hokum bagi pemerintah untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHPerdata, seperti erpacht, postal dan lainnya. 

Dengan ini pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah dan b) di bidang pembuktian kepemilikan. (Supriadi; 2007)
Adapun aturan perundang-undangan bidang pertanahan sebelum tahun 1960, hak-hak atas tanah diatur dalam beberapa ketentuan yaitu: 
  • 1890-55 (Agrarisch wet); 
  • 1925-447 (Wet op de staatsinrichting van Nederlans Indie); 
  • 1870-118 (Agrarisch Besluit); 
  • 1875-199a (Algemene Domeinverkalring); 
  • 1874-947 (Domeinverklaring untuk Sumatera); 
  • 1877-55 (Domeinverklaring untuk Manado); 7) 
  • 1888-58 (Domeinverklaring untuk residentie Zuideren Oosterfdeling Beluit); 
  • 1972-117 (koninklijk Besluit); 
  • Buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W); 
  • Hukum Adat dan peraturan-peraturan lainnya. (I Wayan Suandra; 1991).
Namun setelah berlakunya ketentuan UUPA Nomor 5 tahun 1960 maka peraturan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai dengan amanah Undang-undang Dasar 1945 dan cita-cita bangsa yaitu meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia khususnya bagi petani penggarap.

Agrariche Wet merupakan suatu peraturan  pertanahan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda seperti eigendom recht, erfacht recht, postal recht dan lain-lain peraturan yang kesemuanya bertujuan untuk lebih menguatkan bangunan hukum pada masa itu, sehingga jelas perbedaan antara hak-hak atas tanah yang berdasarkan hukum adat dan dilain pihak berdasarkan hukum barat (Sudargo Gautama; 1973)

Hal ini diikuatkan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1979 dinyatakan bahwa semua tanah-tanah yang berdasarkan ketentuan KUHPerdata (BW) harus dikonversi kepada ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960. ini menunjukkan bahwa dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960  maka  tidak  ada  lagi  tanah-tanah yang tunduk kepada KUHPerdata (BW).

Dalam hal ini Hukum adat mempunyai peran penting dalam pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, hal ini merupakan dasar hukum berlakunya UUPA. Penyataan ini tertuang dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatau dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”

A.P. Parlindungan (1991), menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia dari Sabang hingga Maruoke berjejer pulau- pulau  yang  dihuni  berbagai  suku,  adat  istiadat  dan  beragam agamanya hal ini merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dengan adanya bermacam-macam suku atau adat istiadat memberikan kepada kita untuk menguasai, mengusahai, atau mengerja lahan yang ada disuatu daerah tertentu, sehingga dengan hasil dari lahan atau tanah tersebut memberikan keteraman bagi masyakarat, namun dengan keanekaragam suku bangsa tersebut akan terlihat dengan berlakunya ketentuan UUPA, yang sama sekali tidak akan membedakan antar  suku atau adat istiadat didalam mengusai dan memiliki lahan-lahan tersebut. Dengan demikian akan jelas bagi kita bahwa hukum adat tersebut harus dilhilangkan sifat kedaerahannya dan harus bersifat lebih Nasional.

Sementara Budi Harsono (2005) menyebut bahwa hukum adat diartikan sebagai disaneer. Sedangkan Soudargo Gautama (1973) menyebut hukum adat di artikan sebagai Retool. Akan tetapi Badan Pembinaan Hukum Nasional menyebutkan bahwa hukum adat diartikan sebagai hukum adat Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama (BPHN; 1976).

Dengan demikian didalam pelaksanaannya hingga saat ini belum ada ketentuan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pertanahan yang tunduk kepada ketentuan hukum adat tidak keharusan untuk dikonversi kepada ketentuan-ketentuan yang diatur didalam UUPA Nomor 5 tahun 1960, namun adapun bukti hak yang telah diterbit hanya merupakan alas hak untuk memperoleh hak-hak yang diatur didalam ketentuan UUPA Nomor 5 tahun 1960.

Semoga Bermanfaat,...
Admin : Sulfiana Lestari, SH



Previous
Next Post »