Hukum Agraria Pada Masa Kolonial Zaman Hindia Belanda

Masa Kolonial/Zaman Hindia Belanda
Hukum agraria pada masa ini, berdasarkan pada kaidah- kaidah yang bersumber pada: 
  • hukum agraria Adat, yang merupakan sebahagian besar tanah di Indonesia dikenal dengan tanah-tanah hak Adat; 
  • hukum agraria Barat, yaitu yang merupakan hokum agraia yang didapati dalam Kitab Undang- undang Perdata, khususnya meliputi tanah-tanah Hak Barat, 
  • Hukum Antar Golongan, 
  • Hukum Administrasi yaitu merupakan buatan pemerintah Hindia Belanda, yang memberikan landasan hukum dalam menjalankan Politik agrarianya. (Ali Achmad Chomzah; 2003).
Sedangkan Urip Santoso (2014) hukum agraria di Indonesia dibagai menjadi dua yaitu: 
  • Hukum agraria Kolonial, yaitu yang berlaku sebelum diundangkannya UUPA, 
  • Hukum agraria Nasional, yaitu berlaku setelah diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960.
Pada masa kolonial yang sering juga disebut dengan zaman Hindia Belanda ini belum menunjukkan adanya unifikasi hukum artinya pemberlakuan hukum agraria pada masyarakat saat itu tidak tunggal tapi dibedakan asal golongan dari masyarakat tersebut. Peraturan Cultuur Stelsel pada tahun 1830 yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. Diberlakukan sistem tanam paksa bagi rakyat, terutama terhadap tanaman domein, menganggap secara hukum mempunyai kewenangan untuk memberikan hak erfpacht kepada investor, karenanya pula pihak investor pun merasa sah atas penguasaan tanah tersebut. Van den Bosch mengacu teori Raffles yaitu tanah adalah milik pemerintah. Asas ini tidak mengahargai, bahkan memerkosa hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat (Supriadi; 2007).

Dalam ketentuan asas ini menyatakan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara. Ketentuan ini yang kemudian lazim dikenal denga sebutan Domein Verklaring (pernyataan Domein). Dalam Hukum Agraria Lama ini bersifat dualisme, baik pada hukum maupun hak-hak atas tanah, kemudian tidak menjamin adanya kepastian hukum; dikarenakan Agrarische Wet 1870 ini yang bersifat asas domein dan hukum agraria lama ini diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Jika diperhatikan dengan seksama, Hukum agraria kolonial ini memiliki tiga ciri yang terdapat dalam Konsideran UUPA, yaitu pada kata “menimbang” yaitu di huruf b, c dan d yaitu: 
  • bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta; 
  • bahwa hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang di dasarkan atas hukum barat; 
  • bahwa bagi rakyat  asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Dengan demikian selama pada masa pemerintahan Hindia Belanda, hukum agraria tetap mencerminkan keinginan dan kepentingan Belanda dan dalam hal ini sangat merugikan kepentingan bumi putra. 

Adapun beberapa kebijakan hukum agraria pada zaman Hindia Belanda yaitu:
  • Peraturan Cultuur Stelsel pada tahun 1830, diberlakukan system tanam paksa bagi rakyat.
  • Agrarische Wet (S. 1870-118) yang terkait dengan Agrarische Wet (S. 1870-55) tentang asas Domenin Verklaring. Ada beberapa hal penting terkait dengan adanya asas tersebut diantaranya adalah:
    • Hubungan antara Negara dengan tanah dipersamakan dengan hubungan antara tanah dengan perseorangan yang bersifat Privaattevhtelijk.
    • Domein Verklaring tidak lebih ditujukan terhadap  tanah yang tunduk pada hukum adat, mengingat dalam sistem hukum adat tidak kenal dengan system pembuktian kepemilikan secara tertulis seperti dikenal dalam hukum barat.
Semoga Bermanfaat...
Admin : Natalia Simatupang, SH
Web Blog : Buktiin Aja



Previous
Next Post »