Hukum Pidana - Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
KUHP yang berlaku saat ini, tidak mengatur mengenai konsep yang dianut berkaitan dengan pengertian Tindak Pidana maupun Pertanggjawaban Pidana. Keadaan ini sering kali menimbulkan perdebatan, dan juga perbedaan dalam penegakkan hukum pidana di Indonesia. Sekalipun pada dasarnya kebanyakan para pengajar hukum pidana Belanda dipengaruhi oleh pandangan yang bersifat monistis, yang pada dasarnya melihat persoalan “pertanggungjawaban”sebagai bagian dari “tindak pidana”. Hal ini berarti bahwa dalam suatu “tindak pidana” dengan sendirinya mencakup pula kemampuan bertanggungjawab. Sudah sejak lama di Indonesia berkembangan pemikiran yang bersifat dualistis , diantaranya secara khusus dipengaruhi oleh pemikiran Moeljatno , yang pada dasarnya beranggapan bahwa konsep yang memisahkan “tindak pidana” dengan persoalan “pertanggungjawaban pidana”dianggap lebih sesuai dengan cara berpikir bangsa Indonesia. Konsep inilah tampaknya telah digunakan sebagai salah satu dasar dalam memperbaharui KUHP, sebagaimana tampak dalam bab II (buku I) yaitu “Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”.
Berkaitan dengan pengertian “Tindak Pidana”, RUU KUHP telah merumuskan sebagai “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana”. Perumusan tersebut tampaknya belum mencakup pengertian tindak pidana dalam delik materil, seperti halnya dalam tindak pidana pembunuhan. Kelemahan ini tentunya tidak mempunyai relevansi terkait dengan tindak pidana korupsi yang selama ini tidak dirumuskan sebagai delik materil.
RUU KUHP memandang setiap “tindak pidana” sebagai bersifat melawan hukum, kecuali bila dapat dibuktikan bahwa terdapat alasan pembenar, yang meliputi : perbuatan melaksanakan undang-undang, adanya perintah jabatan, keadaan darurat, pembelaan secara terpaksa, dan perbuatan dinyatakan tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (dianutnya ajaran melawan hukum secara materil yang dirumuskan RUU KUHP). Perumusan tersebut, lebih menjamin kemudahan dalam proses penuntutan, karena Penuntut Umum tidak diwajibkan untuk membuktikan dipenuhinya unsur melawan hukum. Sekalipun hal ini sesungguhnya sudah merupakan hal biasa dalam praktek penegakan hukum pidana di Indonesia, namun KUHP saat ini sesungguhnya tidak pernah mengatur secara tegas.
RUU KUHP mengatur tentang kemungkinan, untuk mengkualifikasi perbuatan “permufakatan jahat” sebagai tindak pidana, dalam tindak pidana tertentu, yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang. Dalam RUU KUHP, permufakatan jahat dikualifikasi sebagai tindak pidana dalam tindak pidana : Makar, Penghianatan terhadap Negara, Sabotase, Terorisme, Makar terhadap Negara Sahabat, Menimbulkan Kebakaran, ledakan, dan Banjir, Membahayakan Orang dan Keamanan Umum, Psikotropika, Pencucian Uang. RUU KUHP tidak mengkualifikasi “permufakatan jahat” untuk melakukan tindak pidana korupsi sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Dalam konsep KUHP, telah pula merumuskan definisi tentang “permulaan pelaksanaan” yang merupakan salah satu syarat untuk mengkualifikasi perbuatan sebagai suatu “percobaan tindak pidana”. Perumusan definisi ini tentu berdampak positif, khususnya dapat memudahkan dan memberikan kepastian hukum dalam menentukan suatu perbuatan sebagai “percobaan tindak pidana”. Secara tidak langsung, perumusan ini tentunya juga memudahkan untuk membedakan suatu perbuatan, apakah merupakan “percobaan tindak pidana” atau semata-mata sebagai suatu persiapan tindak pidana .
RUU KUHP telah juga mendefinisikan tentang tindak pidana korporasi, sebagaimana dirumuskan dalam RUU KUHP, “Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional, dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama”. Rumusan tersebut berbeda dengan rumusan sebagaimana diatur dalam pasal 20 UU Tipikor, yang telah dirumuskan secara lebih luas, karena dapat dilakukan oleh setiap orang baik berdasarkan hubungan kerjamaupun berdasarkan hubungan lain.
Sementara dalam RUU KUHP menjadi dibatasi, hanya apabila perbuatan dilakukan oleh orang-orang dalam kedudukan fungsional tertentu dalam korporasi. Perbedaan ini dapat membawa perdebatan hukum, khususnya terkait dengan apakah dalam hal ini, UU Tipikor tetap dapat dikecualikan sebagai lex spesialis. Dalam arti bahwa dalam penegakan tindak pidana korupsi terhadap korporasi, kriteria “perbuatan korporasi” yang digunakan tetap mengacu pada UU Tipikor dan bukan pada buku I KUHP (bila kemudian RUU telah menjadi UU). Padahal buku I dengan sendirinya berlaku terhadap ketentuan pidana di luar KUHP.
Pertanggungjawaban Pidana
Terhadap bab II buku I RUU KUHP, ditentukan beberapa bagian paragraf, meliputi Tindak Pidana, Permufakatan Jahat (Pasal 12 dan Pasal 13), Persiapan (Pasal 16 s/d Pasal 17), Percobaan (Pasal 18 s/d Pasal 21), Penyertaan (Pasal 22 s/d Pasal 24 RUU KUHP), Pengulangan (Pasal 25), Tindak Pidana Aduan (Pasal 26 s/d Pasal 31), Alasan Pembenar (Pasal 32 s/d Pasal 36). Pada bagian kedua, ditentukan tentang Pertanggungjawaban Pidana yang meliputi, Kesalahan (Pasal 38 dan Pasal 39), Kesengajaan dan Kealpaan (Pasal 40), Kemampuan Bertanggungjawab (Pasal 41 dan Pasal 42), dan Alasan Pemaaf (Pasal 43 s/d Pasal 47), Korporasi (Pasal 48 s/d Pasal 54). tentang bab III, Bagian Kesatu Tentang Pemidanaan, Pidana , dan Tindakan yang meliputi, Tujuan Pemidanaan (Pasal 55), Pedoman Pemidanaan (Pasal 56 dan Pasal 57), Perubahan atau Penyesuaian Pidana (Pasal 58), Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan tunggal dan Perumusan Alternatif (Pasal 59 s/d Pasal 61), Lain-lain ketentuan pemidanaan (Pasal 62 s/d Pasal 65). Bagian Kedua Pidana meliputi, Pidana Penjara (Pasal 70 s/d pasal 77), Pidana Tutupan (Pasal 78), Pidana Pengawasan (Pasal 79 s/d Pasal 81), Pidana Denda (Pasal 82 dan Pasal 83), Pelaksanaan Pidana Denda (Pasal 84), Pidana Pengganti Denda Kategori I (Pasal 85), Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi (Pasal 87), Pidana Kerja Sosial (Pasal 88), Pidana Mati (pasal 89 s/d Pasal 92), Pidana Tambahan (Pasal 93 s/d Pasal 102). Bagian ketiga Tindakan (Pasal 103 s/d Pasal 114 , Bagian ke empat Pidana dan Tindakan Bagi Anak, meliputi Pidana Bagi Anak (Pasal 115 s/d Pasal 136), Tindakan bagi anak (Pasal 137 dan Pasal 138). Bagian kelima, Faktor yang memperingan dan yang memperberat pidana (Pasal 139 s/d Pasal 143). Bagian ke enam, Perbarengan (Pasal 144 s/d Pasal 151).
Masalah pertanggungjawaban pidana, ternyata terdapat dua pandangan, yaitu pandangan yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai “Eene stafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar persoon” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya).
Menurut aliran monisme, unsur-unsur stafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat, yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana.
Perbuatan yang tercela oleh masyarakat, dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya, artinya celaan yang objektif, terhadap perbuatan itu, kemudian diteruskan kepada terdakwa, sehingga dapat dikatakan, bahwa orang yang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana, jika tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dapat dipidana. Karena harus ada kesalahan dari perbuatannya. Kapankah dipandang telah melakukan kesalahan, bilamana dari segi masyarakat, dapat dicelanya perbuatan, karena masih dapat berbuat lain, karena kesalahan itu dapat dicela juga dapat dihindari. Sehingga mulailah dicari keadaan batin pelaku perbuatan pidana, dan persoalan batin dalam hukum pidana adalah masalah kemampuan bertanggungjawab, dan selanjutnya berkaitan dengan kesengajaan, k ealfaan, serta alasan pemaaf, sebagai unsur dari kesalahan. Semuanya adalah unsur unsur yang tidak dipisahkan.
Syarat syarat dari mampu bertanggungjawab atau tidak mampu, adalah bilamana telah dilakukannya perbuatan pidana, termasuk setiap orang yang bertanggungjawab atas orang lain. Tetapi walaupun undang undang yang menetapkan sebagai pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang terjadi. Menurut pandangan tradisional, syarat syarat objektif melakukan perbuatan pidana, harus dipenuhi syarat syarat subjektif atausyarat syarat mental, untuk dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhkan hukuman pidana, dan hal inilah yang disebut sebagai “kesalahan”. Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana, adalah ungkapan sehari hari, dalam moral, agama dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan lainnya, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan aturan. Kesamaannya adalah aturan tentang tingkah laku yang erus diikuti oleh kelompok tertentu, dan terus melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggungjawaban dan pemidanaan itu dalam suatu sistem normatif.
RUU KUHP pada dasarnya mensyaratkan “kesengajaan” sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana, hanya dalam hal tertentu dimana undang-undang secara tegas, menyatakan bahwa suatu tindak pidana dapat dipidana sekalipun hanya dilakukan dengan “kealpaan”. Dianutnya asas culpabilitas, “tiada pidana tanpa kesalahan” yang dirumuskan dalam RUU KUHP, merupakan hal positif dalam memandu penegakan hukum pidana. Asas culpabilitas dan ditegaskannya bahwa pertanggungjawaban pidana dalam bentuk “kealpaan,” hanyalah bila dinyatakan secara tegas dalam undang- undang, akan berpengaruh terhadap penegakan tindak pidana korupsi. UU Tipikor seperti pasal 2 dan pasal 3 nya yang tidak mencantumkan unsur “sengaja,” harus dipandang disyaratkan adanya kesengajaan. Keadaan ini sangat mungkin akan menyebabkan lolosnya beberapa terdakwa tindak pidana korupsi, yang disebabkan pada keberhasilannya untuk membuktikan ketiadaan “kesengajaan”. Namun hal ini tidak berarti negatif karena pidana tidak pernah dimaksudkan untuk menghukum mereka, yang tidak berhati jahat. Karena sejatinya hukum pidana, adalah salah satu upaya untuk menegakkan keadilan di masyarakatnya
Keberadaan hukum dan institusinya mempunyai esensi untuk mempromosikan keadilan melalui dua cara. Pertama, mengidentifikasi nilai-nilai moral dan sistem moral yang sudah mengendap dalam struktur kemasyarakatan. Kedua, adalah membentuk suatu sistem norma hukum yang secara tidak langsung membentuk sistem keadilan itu sendiri. Karakter keadilan pada hakikatnya adalah “tidak melawan hukum”, jadi konsep keadilan itu sendiri lahir dari anggapan bahwa suatu nilai moral yang tidak bertentangan dengan hukum maka itulah keadilan.
Keadilan adalah bagian dari moral yang sudah mengkristal, dalam kaedah-kaedah keteraturan. Keteraturan dalam hukum positif, tetapi tidak cukup hanya jalan positif, maka dapat pula ditengok dari kaedah dalam norma-norma dasar dalam denyut kehidupan kemasyarakatan.Hal inilah yang kerap kali menjebak isntitusi hukum khususnya pengadilan.
Penggunaan hukum pidana kerap kali dianggap sebagai sarana mencapai keadilan yang hakiki, padahal hukum pidana adalah suatu bentuk jalan pidana tidak dipergunakan secara beyond reasonable doubt maka yang terjadi bukanlah reasonable justice tetapi reasonable unjustice. Keadilan dapat dicapai dengan membentuk suatu struktur hukum yang mutakhir dan responsif. Institusi hukum harus bersifat fleksibel dalam membawa hukum pidana yang cenderung rigid, bahkan keadilan berkonsentrasi pada struktur atau insfrastruktur hukum, bukan pada substansi hukum itu. Karenanya perubahan struktur hukum lebih mudah, jika dibandingkan merubah substansi hukum, khususnya hukum pidana.