Hukum Pidana - Pidana dan Pemidanaan
Pemikiran ahli fikir tentang hukum pidana terus bergerak, mengikuti lajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai cabang ilmu yang sangat mapan, maka hukum pidana telah menyumbangkan karya-karyanya dari berbagai ahli filsafat, dan merentangkan jalan yang luas untuk perjuangan keadilan dan kepastian dalam berhukum dibelahan dunia manapun. Tidak ada kebutuhan dasar dari suatu masyarakat yang beradab, yang tidak memerlukan hukum pidana. Sebagai hukum yang mencirikan sanksi, adalah sumber ketertiban dan bahkan keadilan.
Hukum pidana nasional yang saat ini dilakukan selalu memerlukan kajian-kajian komparatif yang mendasar, fundamental, konseptual, kritis, dan konstruktif, serta kajian perbandingan yang sangat mendesak, dan sesuai dengan idea pembaharuan hukum nasional saat ini, sesuai dengan karakteristik masyarakat dan sumber hukum di Indonesia, yang lebih bersifat monodualistik dan pluralistik, serta berdasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yakni berdasarkan hukum adat dan agama, serta menjadikan ajaran agama sebagai sumber motifasi, sumber inspirasi, dan sumber evaluasi yang kreatif dalam membangun insan hukum yang berakhal mulia, sehingga wajib dikembangkan upaya-upaya konkrit dalam muatan kebijakan hukum nasional.
Hukum pidana yang selalu mengalami perubahan dalam lintasan sejarah. Perubahan perubahan itu terjadi, baik dari segi hakekatnya maupun dari segi substansinya, yang diusahakan untuk dapat dipakai, mengendalikan masyarakat secara efektif. Adalah saksi bisu dan jujur, maka pantaslah menjadi sumber sejarah. Terhadap hal itu, bahwa bangsa Indonesia masih memakai dan menggunakan hukum pidana pada zaman kolonial, dan belum juga mendapatkan sorotan serius untuk digarap lebih lanjut. Politik hukum sangat terlalu serius pada bangunan politik kebangsaan, internasional dalam m emnghadapi globalisasi, dan bahkan sudut pandang ekonomi, tetapi belum terlalu serius membenahi ruang hukum pidana, bahkan terlalu sibuk dengan berbagai revisi undang undang di bidang penegakan hukum, dan melupakan pembahasan KUHP, yang sangat dasyat membentuk watak hukum masyarakatnya.
Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah, selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya, banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah wajar, karena manusia selalu berusaha untuk mempelajari suatu hal, demi meningkatkan kesejahteraan di m asa depan. Ketika hukum pidana dan hukum acara pidana, masih dikuasai oleh zaman absolutisme pada zaman ancien regime, penguasa merumuskannya secara politis dan tidak tegas. Pemeriksaan perkara pun dilakukan secara tertutup agar kekuasaan sewenang wenang dimungkinkan.
Pada masa revolusi Perancis, merupakan awal perubahan hukum pidana yang di susun secara sistematis. Perubahan tersebut menuju pada pola pendekatan sosial yang dianggap kejahatan sebagai gejala sosial. Muncullah kelompok aliran hukum pidana dengan klasifikasi aliran klasik, aliran kriminologi dan aliran sosiologis. Dalam menentukan suatu tindak pidana, digunakan kebijakan hukum pidana. Penal Policy atau politik kriminal hukum pidana, pada intinya bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, kebijakan aplikasi, dan pelaksanaan hukum pidana, sehingga peraturan perundang-undangan pidana dibuat, sudah ditentukan arah yang hendak dituju, atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi, atau suatu proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat di pidana. Proses itu diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.
Perkembangan mengenai pemidanaan melahirkan pemikiran atau prinsip menghukum menjadi prinsip membina, menjadikan terpidana bukan lagi sebagai objek tetapi adalah subjek, sehingga melihat terpidana sebagai manusia seutuhnya. Sanksi dalam falsafah pemidanaan dapat diukur menurut rasa keadilan masyarakat indonesia mendapatkan porsi perhatian di dalam masyarakat, karena pencarian alternatif pemidanaan lain selain pidana kehilangan kemerdekaan lainnya. Perkembangan globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi ikut dengan kuat membentuk dan mewarnai proses pendidikan dan rasa keadilan di dalam masyarakat yang pada akhirnya gerakan perubahan dapat mempengaruhi usaha-usaha pembaharuan hukum pidana yang hingga kini terus berlangsung untuk mewujudkan kodifikasi hukum pidana nasional berdasarkan falsafah yang hidup dalam masyarakat indonesia yang memandang rasa yang tinggi melalui sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memnentukan falsafah yang paling tepat untuk indonesia adalah tugas negara yang harus didasarkan atas nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk nilai agama. Legislator berkewajiban untuk menterjemahkannya kedalam undang-undang. Selanjutnya dimulai dengan mendorong terjadinya penelitian empiris dan diskusi tentang makna dan tujuan pidana yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Tujuan pemidanaan masyarakat Indonesia yang integralistik dalam kelima sila dalam pancasila adalah suatu keseimbangan lahir dan batin dalam mewujudkan tata pergaulan dan penyelesaian hukuman yang manusiawi, berketuhanan, berkebangsaan, berperikemanusiaan, demokratis dan berkeadilan sesuai dengan rasa adil masyarakat Indonesia yang terbentang dalam nuansa masyarakat Indonesia yang bercirikan religius magis demi keseimbangan kehidupan. Oleh karenanya mencari falsafah pemidanaan adalah falsafah yang sudah digali dalam tubuh jiwa bangsa yaitu pancasila. Perkembangan ide kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berlandaskan pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Berarti dilatarbelakangi oleh ide dasar pancasila yang terkandung di dalamnya keseimbangan nilai moral religius (ketuhanan), kemanusiaan (humanistik), kebangsaan, demokrasi dan keadilan sosial.
Teori-teori pemidanaan, bergantung pada teori politik yang digunakan oleh suatu negara. Perbedaan teori politik yang digunakan akan menghasilkan justifikasi yang berbeda. Hal ini dikarenakan teori-teori politik yang dianut oleh suatu negara, mencakup perbedaan peran dan ruang lingkup negara, dan berbeda pula dalam menggambarkan hubungan antara pemerintah dan warga negaranya. Di negara yang menganut teori liberal, lebih mengutamakan hak dan kebebasan individu yang aman supaya setiap individu, dapat menjalankan kehidupan dan pilihan mereka dengan baik.
Di negara ini, pidana dapat dijustifikasi, sepanjang pidana itu mampu, melindungi kebebasan individu warga negara, agar mereka aman dari ancaman kejahatan. Kewenangan negara harus dibatasi dengan ketat, untuk memastikan, bahwa kewenangan itu digunakan untuk kebebasan individu. Di negara yang menganut teori comunititarian, individu diisolasikan dari individu yang lain. Maka dibedakan dengan jelas antara kepentingan individu warga negara dan negara. Negara memiliki peran yang lebih luas dan diatur dalam hukum positif untuk memajukan kesejahteraan sosial dan menjaga nilai-nilai sosial.
Pidana adalah salah satu dari sekian sanksi yang bertujuan untuk menegakkan berlakunya norma. Pelanggaran norma yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan perasaan tidak senang yang dinyatakan dalam pemberian sanksi tersebut. Menurut KUHP kita, hukum pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan adalah pencabutan beberapa hak tertentu, disitanya barang tertentu, dan diumumkannya putusan hakim.
Urutan-urutan pidana ditentukan menurut beratnya pidana, dan yang terberatlah yang disebut lebih depan. Dalam hukum pidana, penentuan perbuatan-perbuatan apa yang perlu diancam dengan hukuman pidana dan jenis-jenis pidana serta cara penerapannya, maka pidana atau sanksi sangat penting. Sekarang muncullah apa yang disebut sebagai hukum pidana fungsional, yakni hukum pidana bukan saja berfungsi untuk memberikan nestapa pada pelaku kejahatan, tetapi juga mengatur masyarakat agar hidup lebih damai dan tentram. Penerapan hukum pidana tidak selalu berakhir dengan penjatuhan pidana, tetapi juga dikenal dengan asas oportunitas yang disebut pardon, disamping juga dikenal jenis sanksi yang disebut tindakan, yang dalam hukum pidana ekonomi sangat luas, ada tindakan tata tertib sementara yang dikenakan oleh jaksa dan ada tindakan tata tertib yang dikenakan oleh hakim, juga ada sistem penundaan pidana dan pidana bersyarat.
Masalah pemberian pidana mempunyai dua arti; yakni pertama, dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto), kedua dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. KUHP telah menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana akan tetapi juga apa yang disebut tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya.
Dalam sejarah penerapan pidana, mengalami 4 (empat) periode :
- Pertama, pada awal abad pertengahan dengan dikenal sebagai sistem ganti rugi atau sistem dimana semua perbuatan pidana diselesaikan dengan sistem pembayaran uang, binatang atau sejenisnya menurut daftar tarif yang sudah ditentukan. Pada periode ini penjara tidak dikenal dan jenis pekerjaan utama adalah pertanian.
- Kedua, adalah terjadi pada akhir abad pertengahan, dengan berkembangnya jumlah penduduk, terjadilah banyak permasalahan sosial, kemerosotan ekonomi dan peningkatan kejahatan terhadap harta kekayaan sehingga melahirkan suatu sistem untuk menyakiti penjahat melalui penerapan pidana secara kasar.
- Ketiga, yaitu pada 1600-an sampai revolusi industri, yang berkembang pada masa itu adalah penerapan pidana penjara, yang mengalami beberapa perubahannya.
- Keempat, yakni pada abad kedelapan belas dengan ditandai munculnya pidana mati, sebagai upaya untuk menakut-nakuti rakyat miskin yang sudah kebal terhadap pidana perampasan kemerdekaan. Pidana denda itu sendiri mengalami perkembangan pada abad kedua puluh yaitu ketika raja menerima pembayaran atas kasus-kasus pidana dan para korban dapat memperoleh kompensasi hanya melalui pengadilan perdata.
Stelsel pidana dalam pembaruan hukum pidana, telah menggambarkan kemajuan, yang rasional dan humanistis, karena masih mengenal pidana mati, tetapi mengikuti pengaruh hukum pidana di dunia yang juga menentang pidana mati, karenanya terjadi pergolakan pada tataran konsep dan dirumuskan dalam tataran norma, demikian juga tentang masih diperlukannya pidana penjara, pidana denda, dan yang terbaru adalah stelsel pidana kerja sosial.
Adalah sikap dari perancang KUHP, terbersit suatu sikap mengenai “Pidana dan Tindakan” sebagai implementasi keseimbangan, terhadap tujuan pemidanaan, yang bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana, merupakan satu kesatuan sistem yang memiliki tujuan, dan pidana hanya merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Hal itulah mengapa RUU KUHP merumuskan tujuan pemidanaan yang bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokjok yakni perlindungan masyarakat dan perlindungan individu.
Hukum pidana baru Indonesia, yang telah dirancang bangun oleh para ahli hukum, telah memberikan konstribusi pemikiran kearah hukum pidana modern, selaras dengan keinginan pembaruan hukum pidana Indonesia, karenanya politik hukum menjadi sandaran dalam pergumulan dan tarik menarik kepentingan, untuk menjadikan hukum pidana modern ini dapat berlangsung untuk sebuah Negara yang berkemajuan.
Politik hukum pidana, pada dasarnya adalah merupakan aktivitas, yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan, atau pemilihan melalui seleksi, diantara berbagai alternatif yang ada, yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang. Karena dipilih berbagai masalah pokok dalam hukum pidana, yakni perbuatan yang bersifat melawan hukum, Kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan berbagai sanksi alternatif, baik yang merupakan sanksi pidana maupun tindakan.
Hukum merupakan suatu tatanan perbuatan manusia. Melalui suatu peraturan, yang mengandung suatu kesatuan, dengan hakikatnya yang mempertautkan peraturan-peraturan yang khusus tatanan perbuatan yang lain disebut juga sebagai tatanan moral, tatanan agama. Hukum adalah suatu kondisi, dimana manusia, yang secara alamiah berdiri sendiri, menyatukan diri mereka dalam masyarakat. Hanya hukum yang mampu menentukan hukuman atas setiap kejahatan, dan kewenangan untuk membuat hukum pidana hanya terletak di tangan legislator, yang mewakili seluruh masyarakat, yang disatukan oleh permufakatan sosial. Setiap individu terikat ke dalam masyarakat, dan masyarakat juga terikat dengan dirinya sendiri, melalui suatu kontrak, yang sama-sama mengikat.
Hal demikian merupakan suatu hal yang sudah terjadi secara turun-temurun. Pelanggaran terhadap permufakatan, oleh individu adalah suatu yang bersifat anarkis. Maka penguasa, yang mewakili masyarakat, menjatuhkan hukuman sebagai konsekuensinya. Walaupun kerasnya hukuman, juga akan berlawanan dengan keadilan dan permufakatan sosial.
Hukum merupakan suatu pencerminan dari suatu peradaban, kebudayaan, dan suatu jalinan, yang erat. Sesungguhnya hukum telah jatuh merosot ke dalam suatu dekadensi, jika kekurangan dari para pembentuk hukum, telah menunjukkan ketertinggalan, berkenaan dengan fakta-fakta dan pemikiran-pemikiran yang berlaku atau yang mulai berkembang. Para pembentuk hukum yang tidak dapat menyesuaikan, peka terhadap masalah-masalah dimasa depan. P
engaruh pendidikan hukum, oleh para ahli hukum pidana, di berbagai masanya, Telah mendesak, dan melahirkan pembaharuan hukum pidana di berbagai bidang kehidupan, ekonomi, politik, sosial, budaya, serta penegakkan hukumnya, telah menghiasi bahkan melengkapi, ketertinggalan hukum pidana yang diatur oleh KUHP yang berlaku, sebagai peninggalan kolonial. Dengan segala kelemahannya para pembuat undang-undang, yang masih jauh dari kesempurnaan dalam memformulasikan kebijakan legislatif di bidang hukum pidana, adalah suatu kemajuan. Karena dengan itikad baiknya, telah menyumbangkan sisi-sisi baik, guna mengatasi pertumbuhan kejahatan yang tidak terbendung dan terduga, dalam dunia yang mengglobal, dengan ciri-cirinya yang sangat khusus.
Pembaruan hukum pidana, menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah sentral, yang sangat fundamental dan strategis, termasuk dalam masalah kebijakan dalam menetapkan sanksi pidana. Kebijakan menetapkan pidana dalam perundang-undangan. Sebagai suatu garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan, yang sekaligus sebagai landasan legalitas pada tahap berikutnya.
Pengaturan hukum pidana merupakan pencerminan ideologi suatu bangsa, yang menjadikan hukum itu berkembang, dan merupakan hal yang sangat penting, bahwa seluruh bangunan hukum itu, bertumpu pada pandangan politik yang sehat dan konsisten. Dapat diperhitungkan, bahwa KUHP negara-negara Eropa barat, bersifat individualistis dan bercorak lain dengan KUHP negara-negara Eropa timur yang berpandangan politis sosialis. Indonesia berpandangan politik berdasarkan Pancasila, sedangkan pandangan hukum pidana, erat sekali hubungannya dengan pandangan yang umum tentang hukum, negara dan masyarakat.
Dalam merumuskan hukum pidana baru, maka diperhitungkan pula persinggungan eksistensi norma-norma sosial, yang oleh hukum pidana dirumuskan dan dilengkapi. Karenanya diperlukan tranformasi norma-norma sosial menjadi norma hukum. Konteks masyarakat demokratis, pada akhirnya terjadi kongruensi antara berbagai norma-norma sosial, melalui etika sosial dan norma-norma hukum. Walaupun norma-norma sosial lebih mudah berubah, dibandingkan dengan aturan hukum, yang tertuang dalam undang-undang. Karenanya diberikan tempat, agar hakim lebih leluasa, untuk memperhitungkan perkembangan masyarakat.
Bagaimana hukum pidana, harus direalisasikan dalam suatu proses peradilan pidana, hal inilah yang dinamakan dengan hukum acara pidana (starfvorerderingsrecht), atau juga disebut sebagai hukum pidana formil. Kitabnya dirangkumkan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Di negeri Belanda menetapkan bahwa proses acara atau peradilan, harus dilaksanakan dengan baik. Dengan merujuk dan berpayung pada ketentuan, yang dikembangkan melalui yurisprudensi Mahkamah Agung Belanda, sejumlah ajaran hukum acara pidana, misalnya tentang bukti-bukti yang diperoleh secara melawan hukum, serta asas-asas tertib acara yang baik. Mengembangkan prinsip perjanjian Eropa tentang perlindungan HAM. Karenanya perlu memahami hukum pidana materiil dan formil secara bersamaan.
Pemahaman mengenai pemidanaan di era modern tidak hanya melibatkan bagaimana hukum pidana menimbulkan dan menciptakan rasa jera melalui sanksi tetapi juga menimbulkan ketakutan akan penjeraan dalam sistem peradilan pidana, sehingga sanksi tidak hanya dipandang sebagai pusat orbit peletakkan jera dan derita, tetapi juga sebagai alat untuk mencegah potensi kriminal yang mungkin terjadi.
Oleh karena itu, pemidanaan akan sangat bergantung kepada kemandirian hakim dalam mengambil suatu putusan melalui pertimbangan yang mengkombinasikan antara dimensi hukum dan dimensi kemanusiaan sehingga hukum pidana dapat menciptakan konsepsi pemidanaan yang humanistis. Hakim sebagai subsistem peradilan, merupakan pelaku inti, yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman, karena hakekatnya memiliki pilar sebagai badan peradilan, yang ditegakkan berdasarkan undang undang, sehingga dalam melaksanakan fungsinya Hakim diharuskan memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya, untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara, dengan model memetakan kasus, menterjemahkannya, menyeleksi peraturan yang relevan, menafsirkan, mengkaji serta merumuskan formulasi penyelesaian.
Di berbagai belahan dunia terkini hukum pidana yang modern dicerminkan melalui penjatuhan pelaksanaan dan pengawasan sanksi yang tidak hanya difokuskan untuk memunculkan nestapa tetapi juga memunculkan rasa untuk kembali ke sistem sosial sehingga hukum pidana dapat dianalogikan sebagai rumah sakit yang kemudian kejahatan adalah sebuah penyakit yang kemudian dilakukan serangkaian perawatan untuk dikembalikan performanya.
Perjuangan menegakkan keadilan, telah dilakukan oleh bangsa-bangsa yang beradab di belahan dunia ini. Termasuk Negeri Indonesia, yang dari masa ke masa, menorehkan perjuangan keadilan, kemerdekaan, kesejahteraan, sejak bangsa Eropa datang, hingga perjuangan fisik, untuk mencapai kemerdekaan. Bahkan hingga pengalaman kemerdekaan menghantarkan negeri ini, memasuki abad dan era sebagai bagian dari negara hukum modern di dunia. Sisa-sisa kolonial pada lapangan Hukum, masih terasa, disebabkan politik hukum kita, pada masa lalu terfokus pada pembangunan fisik, sosial, ekonomi dan budaya, pertahanan dan keamanan, tetapi sangat lamban pada pembangunan bidang hukum.
Hukum modern tidak jatuh dari langit. Hukum modern tumbuh dan berkembang melalui perjalanan sejarah yang amat panjang, hingga terbentuk hukum modern seperti yang sekarang ini. Hukum menyimpan kaidah nilai, kaidah peran dan organisasi. Melalui hukum, nilai-nilai dapat dijabarkan menjadi kaidah dan karena itu mempunyai kekuatan yang dipaksakan. Negara hukum modern Indonesia, lebih mengunggulkan Supremacy of moral. Sehingga memberikan tekanan yang istimewa terhadap aspek moral daripada aspek perundang-undangan semata-mata.
Hukum pidana materiil dan formil, merupakan rumpun hukum publik. Karenanya hukum pidana materiil (KUHP) dan hukum pidana Formiil (KUHAP), terjalin hubungan yang erat, mesra dan tidak terpisahkan dan saling menunjang. Hukum acara pidana merupakan peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana materiil. Mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan keputusan Hakim. Tentang peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan putusan Hakim, dengan berbagai asas yang dianutnya, yakni Asas Equality before the law, Asas Legalitas, Asas Presumtion of innocence, Asas peradilan cepat, Asas bantuan hukum,. Asas peradilan yang terbuka, fairnes.
Adapun RUU KUHAP, yang telah mendapatkan berbagai masukan, terdapat sembilan perubahan yang mendasar; Memperlakukan adanya Suspects right to remain silent and the presumtion of innocence. Aturan ini memberikan hak kepada tersangka, untuk bisa tidak menjawab pertanyaan penyidik. Adanya Protect citezens liberty and privacy interest in the area of pretrial detention. Berkaitan dengan penahanan. Dalam waktu 5x24 jam tersangka harus dihadapkan pada hakim komisaris, diselaraskan dengan ketentuan international covenant civil and political right (ICCPR).
Adanya remove the preliminary investigation stage and ensure better police/ prosecutor cooperation. Persoalan hubungan penyidikan dan penuntutan, sejak awal terjalin, dimana jaksa memberikan petunjuk sehingga memenuhi persyaratan formil dan substansi berita acara yang ada. Adanya Develop a pretrial stage and clarify the role of the commissioner judge to preside over it. Perubahan yang penting pada tahap pra persidangan dan pembentukan lembaga baru yakni Hakim Komisaris, (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) memiliki tanggung jawab pemberian otorisasi atas surat perintah penggeledahan. Hakim komisaris melakukan hearing secara khusus pada penuntut umum. Hakim komisaris dapat meniadakan dan memerintahkan untuk membebaskan penangkapan kepada tersangka secara sewenang-wenang.
Sehingga Hakim Komisaris dapat melindungi kebebasan individu pada tahap prapersidangan. Adanya Simplity indicment (penyederhanaan dakwaan) surat dakwaan yang ringkas, terfokus, surat dakwaan yang diteliti oleh jaksa terutama persoalan apakah dakwaan akan bertanggung jawab sesuai dakwaannya. Adanya Promote adversarial trial procedures. Memperkenalkan adversarial khususnya pada tahap persidangan. Adanya kesempatan untuk memberikan pertanyaan dari pihak jaksa dan penasehat hukum, dan kesempatan untuk menghadirkan saksi, untuk memperkuat dan memperjelas dakwaan. Peran pengadilan menentukan pencarian fakta secara aktif. RUU KUHAP memperluas alat bukti, yakni bukti eletronik dan barang bukti physical evidence, bertujuan untuk mempermudah dengan cara meninggalkan segala fleksibilitas bagi jaksa dan penasehat hukum, dengan menampilkan alat bukti baru yang potensial di pengadilan.
Terhadap alat bukti atas kejahatan transnasional, alat bukti yang diperoleh di luar negeri, dianggap sebagai alat bukti yang sah, jika diperoleh secara sah, berdasarkan hukum di negara hukum tersebut, dengan tidak melanggar konstitusi, hukum dan perjanjian kerjasama dengan Indonesia. Adanya Case dismissal, guity pleas, and cooperating dependants. Adanya kemungkinan penghentian kasus-kasus yang tidak berdasarkan kepentingan umum, biasanya semua kasus pidana, bahkan tuntutan pidana yang kecil diserahkan pada pengadilan. Terutama adanya perdamaian antara pelaku dan korban, perhatian pada adanya pengurangan hukuman, pengakuan bersalah dari terdakwa. Tetapi dalam hal tertentu hakim dapat membatalkan atau menarik putusannya.
Terdakwa tidak secara otomatis menjadi saksi mahkota, kesemuanya di bawah kontrol jaksa. Adanya Rights of Victims. Dengan memperkuat hak korban dengan adanya tuntutan perdata yang paralel dengan pidana, untuk menerima ganti rugi. Karenanya RUU KUHAP, menentukan keputusan pidana secara final atas tuntutan perdata yang memiliki paralitas dengan perkara pidana.
Pembaruan hukum pidana, merupakan bagian dari politik kriminal, yang dilakukan secara rasional untuk menanggulangi kejahatan dalam pencapaian tujuan nasional. Pada era reformasi ini, maka keterkaitan pandangan hukum legalistis, yang selalu menyatakan hukum adalah identik dengan undang-undang, yang harus ditaati. Pandangan ini hingga sekarang sangat besar pengaruhnya. Pandangan ajaran hukum fungsional, yang anti ajaran legalistik, berkembang dipertengahan abad ke-20, yakni berkembangnya sosiological yurisprudence.
Hukum sebagai gejala masyarakat yang hidup bersifat dinamis. Demikian juga ajaran hukum kritis, yang menganggap bahwa hukum adalah suatu endapan kekuatan yang nyata dan kepentingan-kepentingan dominan. Hukum sebagai aspirasi keadilan dan legitimitas. Hukum dikaji melalui ukuran-ukuran hukum. Watak hukum yang sesungguhnya dapat dipahami dari aspirasi-aspirasi menuju hukum yang optimal, yang melekat pada asas-asas hukum yang tertuju mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan melindungi HAM.
Pembaruan hukum pidana, merupakan kerja dan usaha yang patut mendapatkan dukungan, karena tumpuan pencari keadilan, masyarakat pada umumnya, berkeinginan tercapainya model pemidanaan, yang mengurangi kebutuhan akan “pembalasan” semata-mata. Tetapi mengembangkan perlindungan masyarakat atas akses keadilan secara meluas, yang tercermin dalam putusan-putusan peradilan pidana. Inilah tersisa kerja para ahli hukum pidana, praktisi dan pergumulan hakim pidana setiap harinya dalam menyelesaikan peristiwa-peristiwa hukum konkrit dalam masyarakat.