Apa itu Daya Paksa dan Keadaan Darurat Dalam Hukum Pidana?

Daya Paksa - Daya paksa adalah terjemahan dari overmacht. Pasal 48 KUHP menyatakan,”Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Dalam KUHP tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan daya paksa. Tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli hukum pidana untuk menggolongkan daya paksa apakah sebagai alasan pembenar ataukah alasan pemaaf. 

Ada beberapa postulat terkait daya paksa tersebut adalah:
  • Quod alias non fuit licitum necessitas licitum facit. Artinya keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum.
  • In casu extremae necessitates omnia sunt communia. Artinya keadaan terpaksa, tindakan yang diambil dipandang perlu.
  • Necessitas quod cogit defendit. Artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat.
  • Necessitas sub lege non non continetur, quia quod alias non est licitum necessitas facit licitum. Artinya keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh hukum, namun dilakukan dalam keadaaan terpaksa maka perbuatan tersebut dianggap sah.
Menurut Utrecht dalam MvT sebab paksa atau daya paksa berarti suatu kekauatan, suatu dorongan, suatu paksaaan yang tidak dapat dilawan. Van Bemmelen dan Van Hattum menyatakan bahwa paksaan disini berarti tekanan fisik atau tekanan psikis, paksaan itu dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau cara-cara yang lain atau paksaan itu terletak dalam kodrat alam atau hal-hal disekitar kita. 

Jan Remmelink dengan mengutip pendapat filsuf Jerman, Immanuel Kant menyatakan bahwa dalam pandangan hukum alam, perbuatan yang dilakukan dalam keadaan overmacht dianggap tercakup dalam hukum.

Jonkers membagi daya paksa menjadi tiga:
  • Daya paksa absolut, maksudnya seseorang tidak dapat berbuat lain sebagai ilustrasi A dihipnotis oleh B untuk membunuh C. artinya A membunuh C dalam keadaan dihipnotis oleh B.
  • Daya paksa relatif. Artinya kekuasaan dan kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak. Orang yang dipaksa masih ada kesempatan untuk memulihkan perbuatan yang mana. Sudarto memberi contoh sorang kasir bank yang ditodong kawanan perampok dipaksa untuk menyerahkan uang. Disini, paksaan tersebut sebenarnya dapat dilawan, namun dari orang yang berada dalam paksaaan itu tidak dapat diharapkan bahwa ia akan melakukan perlawanan. Dalam keadaan demikian berlaku adagium ignoscitur ei qui sanguine suum qualiter redemptum voluit artinya apapun yang dilakukan oleh seseorang karena ketakutan akan kehilangan hidupnya, tidak akan dihukum.
  • Keadaan darurat. Keadaan ini seseorang berada dalam dua pilihan untuk melakukan perbuatan pidana yang mana berdasarkan keadaan-keadaan tertentu. Menurut Jonkers, baik daya paksa maupun keadaan darurat merupakan alasan pembenar dan bukan alansan pemaaf.
Keadaan Darurat
Dalam KUHP tidak ada aturan mengenai apa yang dimaksud dengan keadaan darurat. Menurut sejarah pembentukan KUHP situasi keadaan darurat digolongkan dalam overmacht atau daya paksa sehingga pengaturan keadaan darurat tersendiri dianggap tidak perlu. Demikian juga dalam konteks teori yang memasukkan keadaan darurat sebagai bagian dari daya paksa. Keadaan darurat atau noodstoestand adalah alasan pembenar. Artinya perbuatan pidana yang dilakukan dalam keadaan darurat menghapus elemen melawan hukumnya perbuatan.

Menurut Van Bemmelen dan Van Hattum perbedaan daya paksa dan keadaan darurat adalah dimana Tipe pada daya paksa dalam arti sempit, si pelaku berbuat datau tidak berbuat disebabkan satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pelaku, tidak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak ingin ia lakukan. Dalam keadaan darurat, sipelaku ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong pelaku untuk melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.

Dalam keadaan darurat ada tiga kemungkinan yaitu:
  • Pertentangan antara dua kepentingan, tegasnya ada konflik antara kepentingan yang satu dengan kepentinan yang lain. Contoh klasik berasal dari cerita Cicero tentang papan Carneades, ketika kapal tenggelam, Carneades seorang Yunani di zaman kuno menyelamatkan diri dengan berpegang pada sebuah papan yang terapung di air, namun pada saat yang sama terdapat juga orang lain yang berpegang pada papan tersebut. Sayangnya, papan itu hanya cukup untuk satu orang saja. Carneades kemudian mendorong orang tadi lepas dari papan sehingga tenggelam di laut. Dalam konteks ini Carneades mengorbankan kepentingan orang lain untuk kepentingan diri sendiri, yakni menyelematkan nyawanya. Contoh lain A dikejar oleh seekor anjing gila. A kemudian melompat pagar halaman B dan menginjak halaman orang lain tanpa izin, disini kepentingan privasi B terlanggar oleh kepentingan A yang ingin menyelamatkan diri.
  • Pertentangan antara kepentingan dan kewajiban. Contoh. Seseorang mencuri sebuah roti karena sudah tidak makan selama beberapa hari. Menurut Moeljatno disatu sisi ada kepentingan yang mendesak untuk mendapatkan makanan, namun sisi lain ada kewajiban untuk mentaati aturan larangan mencuri.
  • Pertentangan antara dua kewajiban. Misalnya seseorang dipanggil sebagai saksi di Pengadilan X, namun pada saat yang sama orang tersebut juga mendapat penggilan sebagai saksi di Pengadilan Y. Tidak terpenuhinya suatu kewajiban untuk memenuhi kewajiban yang lain. Menurut Pompe dalam keadaan darurat hanya ada dua kemungkinan yaitu pertentangan antara kepentingan dan kewajiban serta pertentangan kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain.
Semoga Bermanfaat...
Admin : Febrianti Lukman, SH



Previous
Next Post »