Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapusan Pidana

Pembelaan Terpaksa - Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam KUHP diatur pada Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan seketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Kendatipun dalam MvT tidak ditemukan istilah pembelaan terpaksa namun ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP secara implisit memberikan persyaratan terhadap pembelaan terpaksa.

Pada awalnya, pembelaan terpaksa tidak dikenal karena didasarkan pada postulat di zaman kuno yang menyatakan, vim vi repellere licet. Artinya kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan. Dalam perkembangannya adagium ini sudah ditinggalkan dalam rangka menegakkan ketertiban umum. 

Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) KUHP ada beberapa persyaratan pembelaan terpaksa yaitu:
  • Ada serangan seketika. Pengertian serangan dalam pasal a quo adalah serangan nyata yang berlanjut baik terhadap badan, martabat atau kesusilaan dan harta benda.
  • Serangan tersebut bersifat melawan hukum. Maksudnya serangan yang bertentangan atau melanggar undang-undang.
  • Pembelaan merupakan kaharusan. Artinya sudah tidak ada jalan lain untuk menghindari dari serangan tersebut. Misalnya dalam sebuah ruangan tertutup S yang berniat membunuh T, tiba-tiba masuk dan mengunci pintu kemudian S dengan pisau yang terhunus mendekati T untuk menusuknya. T kemudian memberikan perlawanan atas tindakan S dengan menggunakan ilmu bela diri yang dikuasainya. Tindakan T termasuk dalam pembelaan terpaksa karena ada serangan seketika yang melawan hukum dan pembelaan tersebut merupakan suatu keharusan.
  • Cara pembelaan adalah patut. Hal ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dalam alasan penghapusan pidana pada umumnya termasuk juga pembelaan terpaksa. 
    • Pertama prinsip subsidaritas yaitu tidak ada kemungkinan yang lebih baik atau jalan lain sehingga pembelaan tersebut harus dilakukan, tegasnya pembelaan tidak menjadi keharusan selama bisa menghindar. 
    • Kedua prinsip proporsionalitas, artinya harus ada keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi dengan kepentingan yang dilanggar. Dalam konteks pembelaan terpaksa delik yang dilakukan untuk pembelaan diri harus seimbang dengan serangan yang dihadapi. 
    • Ketiga prinsip culpa in causa. Artinya seseorang yang karena ulahnya sendiri diserang oleh orang lain secara melawan hukum, tidak dapat membela diri karena pembelaan terpaksa, contoh A menghina B secara lisan kemudian B menghampiri A dan hendak menamparnya. Ketika B hendak menampar A dengan seketika A memukul B sehingga terjatuh. Tindakan A tidak dapat dikatakan pembelaan terpaksa karena ulah A sendiri yang mengakibatkan B manamparnya.
Pembelaan Terpaksa Melampau Batas
Pembelaan terpaksa melampau batas terdapat dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi:”Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu:
  • Orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan. Contoh seorang wanita dlam ruang tertutup hendak diperkosa oleh seorang pria. Pria tersebut sudah berhasil menangkap badan wanita, namun sekuat tenaga wanita tersebut menendang alat vital pria hingga terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu, wanita tersebut memukulnya dengan benda-benda disekelilingnya sampai pria tersebut tidak berdaya. Dalam konteks demikian maka wanita tersebut melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertama adalah noodweer dengan cara menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua adalah noodweerexces, ketika wanita tersebut memukulkan benda-benda yang ada disekelilingnya kepada pria itu hingga tidak berdaya.
  • Orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastic untuk membela diri. Contohnya seorang polisi yang begitu sampai di rumah melihat istrinya diperkosa oleh dua orang perampok. Dengan serta merta polisi tersebut mengambil pistol yang dibawanya dan langsung menembak kea rah pelaku sehingga mengakibatkan mati. Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya adalah noodweer, namun polisi tersebut melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip proporsionalitas dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang menembak para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Menurut sudarto ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas yaitu:
  • Kelampaun batas yang diperlukan
  • Pembelaan dilakukan sebagai akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat.
  • Kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya seranga. Artinya adanya hubungan kausalitas antara kegoncangan jiwa dengan serangan.
Alasan tidak dijatuhi pidana terhadap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas karena bukan karena tidak adanya kesalahan, namun pembentuk undang- undang menganggap adil jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana.

Semoga Bermanfaat...
Admin : Yuliana Syahputri, SH



Previous
Next Post »