Unsur Perbuatan Manusia Dalam Tindak Pidana

Unsur Perbuatan manusia.
Dalam hal perbuatan manusia, Van Hamel menunjukkan tiga pengertian perbuatan (feit), yakni:

  • Perbuatan (feit), terjadinya kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiayaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu dikemudian dari yang lain.
  • Perbuatan (feit), perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit. Contoh: seseorang di tuntut melakukan perbuatan penganiayaan yang menyebabkan kematian, kemudian masih dapat dilakukan penuntutan atas dasar “sengaja melakukan pembunuhan” karena ini lain dari pada “penganiayaan yang mengakibatkan kematian”. Vas tidak menerima pengertian perbuatan (feit) dalam arti yang kedua ini.
  • Perbuatan (feit), perbuatan material, jadi perbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini, maka ketidakpantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat dihindari.

Perbuatan manusia baik perbuatan yang bersifat aktif, yakni berbuat, tetapi juga perbuatan yang bersifat pasif, yakni melalaikan atau tidak berbuat. Contoh perbuatan manusia yang bersifat aktif, yaitu Pasal 362 KUHP yang berbunyi : barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang laim, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyak Rp.900. 

Jadi unsur perbuatan pidana pada contoh pasal diatas adalah sebagai berikut:

  • Perbuatan pidana yakni, mengambil,
  • Obyek hukum, yakni barang, apakah seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
  • Kesadaran pelaku, yakni untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak).

Sedangkan contoh perbuatan manusia yan bersifat pasif (melalaikan / tidak berbuat) terdapat dalam Pasal 531 KUHP yang berbunyi:

Barangsiapa menyaksikan sendiri ada orang di dalam keadaan bahaya maut, lalai memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak akan menguatirkan, bahwa ia sendiri atau orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- . Jika orang yang perlu ditolong itu mati.

Pada prinsipnya seseorang hanya dapat dibebani tanggungjawab pidana bukan hanya karena ia telah melakukan suatu perilaku lahiriah (outward conduct) yang harus dapat dibuktikan oleh seorang penuntut umum. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, Dengan kata lain, actus reus adalah elemen luar (eksternal element).

Dalam kepustakaan hukum actus reus ini sering digunakan padanan kata conduct untuk perilaku yang menyimpang menurut kaca mata hukum pidana. Atau dengan kata lain, actus reus dipadankan dengan kata conduct. Sementara itu, dalam kepustakaan hukum dikatakan bahwa actus reus terdiri atas act and omission atau commission and omission, di mana dalam kedua frasa tersebut, act sama dengan commission. 

Oleh karena pengertian actus reus bukan mencakup act atau commission saja, tetapi juga omission, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat lebih tepat untuk memberikan padanan kata actus reus dengan kata perilaku. Perilaku menurutnya merupakan padanan kata dari dari kata conduct dalam bahasa inggris yang banyak dipakai untuk merujuk kepada perilaku yang melanggar ketentuan pidana. Selanjutnya actus reus seyogianya tidak dipadankan dengan kata perbuatan atau tindakan karena kata tersebut merupakan padanan dari kata act dalam bahasa inggris.

Commission adalah melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana, dan omission adalah tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana untuk dilakukan. Perilaku lebih luas maknanya dari perbuatan atau tindakan, yang tidak lain sama artinya dengan act atau commission. Pengertian perilaku bukan hanya terbatas pada makna perbuatan untuk melakukan sesuatu tetapi juga termasuk tidak melakukan perbuatan tertentu. 

Dengan keterangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana tidak dapat dikatakan perbuatan atau tindakan atau act atau commission. Namun demkian tetap termasuk perilaku melanggar hukum.

Semoga Bermanfaat...
Admin : Ratnawati Nurhana, SH
Web Blog : Andi Akbar Muzfa


Artikel Terkait :

  • Landasan Konstitusional KUHAP Landasan Konstitusional KUHAP: Landasan Konstitusional KUHAP adalah UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Kehakiman Nomor: 14 Tahun 1970. Landasan Hukum yang terdapat dalam UUD 1945 antara lain: Pasal 27 ayat 1 yang dengan te… Selengkapnya...
  • Asas Keseimbangan Dan Asas Praduga Tak Bersalah Asas Keseimbangan (Balance) Aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata-mata. Pelaksanaan KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat d… Selengkapnya...
  • Delik Aduan (Klacht Delict) DELIK ADUAN (KLACHT DELICT)  Dibagi atas : 1. Delik aduan absolut, 2. Delik aduan relatif. Ad 1): Delikaduan absolut  Suatu delik yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan… Selengkapnya...
  • Asas legalitas (legality) KUHP Asas legalitas (legality) KUHAP sebagai Hukum Acara Pidana adalah undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapannya harus bersumber pada titik tolak the rule of law yang berarti semua ti… Selengkapnya...
  • Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi - Compensatory and Rehabilitate Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi (Compensatory andRehabilitate) Dalam pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP, sudah ada pedoman tatacara penuntutan ganti rugi dan rehabilitasi yaitu alasan yang dapat dijadikan dasar tuntu… Selengkapnya...

Previous
Next Post »