Teori Objektif Permulaan Pelaksanaan Percobaan Tindak Pidana

Teori Objektif Permulaan Pelaksanaan Percobaan Tindak Pidana
Disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek dari tindak pidana, yaitu perbuatan. Menurut teori ini seseorang yang melakukan suatu percobaan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum. 

Ajaran yang objektif menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatandan karena itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan menamakan perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. 

Jika mengacu kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby Loqman di atas, daricontoh pertama peristiwa yang menjaditujuan A adalah membunuh B. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah permulaan pelaksanaan agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling mungkin dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam teori objektif dalam kasus ini adalah pada saat A menarik pelatuk pistoluntuk membunuh B. 

Menurut Simons, pendapat dari para penganut paham subjektif itu adalah tidak tepat, dengan alasan bahwa paham tersebut telah mengabaikan syarat tentang harus adanya suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan dan telah membuat segalasesuatunya menjadi tergantung pandangan yang bersifat subjektif hakim.

Pendapat Hoge Raad tentang hal permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) ini dapat di lihat di arresttanggal 7 Me1906,W.8372, yang menyatakan bahwa perkataan begin van uitvoering”di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan uitvoering van hetmisdrijf (pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri), sehingga perkataan “permulaan pelaksanaan” itu terutama harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari perbuatan untuk melakukan kejahatan”.

Sebagian besar dari arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan percobaan yang dapat dihukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP itu sangat dipengaruhi oleh pendapat Simons. Ajaran-ajaran Simons mengenai percobaan yang dapat dihukum yang mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap pandangan (pendapat) para anggota Hoge Raad antara lain :
  • Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah dirumuskan secara formil, suatu permulaan pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan dianggap telah terjadi yaitu segera setelah kejahatan tersebut mulai dilakukan oleh pelakunya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad dalam arrest tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920 halaman 458, W. 10554 yang menyatakan antara lain: perbuatan menawarkan untuk dibeli dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang lain dengan maksud untuk melakukan suatu pemalsuan, menurut arrest inimerupakan suatu permulaan daritindakan pemalsuan yang dapat dihukum.
  • Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah dirumuskan secara materil, suatu percobaan yang dapat dihukum dianggap telah terjadi yaitu segera setelah tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang terlarang oleh undang-undang, tanpa pelakunya tersebut harus melakukan suatu tindakan yang lain. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu antara lain dalam arrest yang terkenal tanggal 19 Maret 1934, N.J. 193 halaman 450, W. 12731, yang dikenal dengan Eindhovense Brandstichting-arrest atau arrest pembakaran rumah di kota Endhoven.
  • Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang telah ditentukan bahwa untuk melakukan delik-delik tersebut harus dipergunakan alat atau cara-cara tertentu, ataupun dimana penggunaan alat atau cara-cara semacam itu oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai unsur yang memberatkan hukuman, maka suatu percobaan yang dapat dihukum untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah terjadi, yaitu segera setelah pelakunya menggunakan alat atau cara yang bersangkutan untuk melakukan kejahatannya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu sebagaimana yang dapat kita lihat antara lain di dalam arrest-arrestnya masing-masing: tanggal 12 Januari 1891, W. 5990, tanggal 4 April 1932, N.J. 1932 halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J. 1941 No. 883 yang pada dasarnya mengatakan bahwa: pembongkaran, perusakan, atau pembukaan dengan kunci-kunci palsu dan pemanjatan itu merupakan permulaan pelaksanaan kejahatan pencurian dengan pemberatan.
Dan di dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 20 Januari 1919, N.J. 1919 halaman 269, W. 10389, dan tanggal 19 Mei 1919, N.J. 1919 halaman 634, W. 10424 yang pada dasarnya menyatakan bahwa: pencurian dengan perusakan itu merupakan suatu kejahatan. Dengan merusak penutup sebuah rumah, dimulailah sudah pelaksanaan pencurian tersebut.Dalam hal ini telah terjadi suatu percobaan untuk melakukan suatu pencurian dengan perusakan.

Loebby Loqman memberikan beberapa contoh kasus tentang penentuan permulaan Pelaksanaan menurut perspektif teori objektif :
Eindhovense Brandstichting arrest, kasus posisinya sebagai berikut: A dan B bersepakat dengan C untuk membakar rumah C guna mendapatkan santunan asuransi. Sementara C bepergian ke luar kota A dan B membuat sumbu panjang dari kain-kain bekas yang telah disiram bensin dan menaruhnya diseluruh rumah. Sumbu tersebut dihubungkan dengan pemantik kompor gas yang disambung dengan tali sedemikian rupa, sehingga nantinya hanya dengan menarik tali dari luar rumah, akan terjadi api yang akan membakar sumbu yang telah dipersiapkan. Sementara menunggu malam hari untuk melaksanakannya, A dan B meninggalkan rumah tersebut. Sementara A dan B meninggalkan rumah itu, par tetangga yang melewati rumah tersebut mencium bau bensinyang menusuk hidung, sehingga mereka curiga dan memberitahukan kepada polisi. Pada saat A dan B datang untuk melaksanakan pembakaran, dilihatnya telah banyak orang sehingga mereka melarikan diri. Namun akhirnya perkara tersebut sampai ke pengadilan dengan tuduhan mencoba melakukan pembakaran.
Jika diperinci, perbuatan-perbuatan terdakwa dapat diperinci menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah perbuatan membuat rumah siap bakar, sedangkan tahap berikutnya menarik tali pemantik kompor gas untuk pembakaran rumah tersebut. Persoalan dalam kasus ini adalah apakah telah ada perbuatan yang dianggap sebagai permulaan pelaksanaan, ataukah baru merupakan persiapan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran rumah. 

Ternyata Hoge Raad tidak memasukkan kasus ini sebagai percobaan melakukan pembakaran. Jadi bukan merupakan percobaan. MvT menyerahkan penentuan perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan kepada praktek, sehingga dalam hal ini Hoge Raad dimungkinkan untuk mencari pertimbangan dalam tiap kasus tentang apa yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan dalam suatu percobaan. 

Adapun pertimbangan Hoge Raad bahwa kasus tersebut dianggap bukan sebagai permulaan pelaksanaan adalah :
  1. Perbuatan yang telah dilakukan A dan B bukan hanya merupakan kemungkinan untuk pembakaran rumah tersebut, ada kemungkinan untuk perbuatan-perbuatan lainkecuali pembakaran rumah.
  2. Perbuatan A dan B lebih bersifat sebagai perbuatan persiapan pelaksanaan, dan bukan permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.
  3. Perbuatan yang dimaksud sebagai permulaan pelaksanaan seharusnya merupaka suatu perbuatan yang tidak diperlukan lagi adanya suatu tindakan lanjutan daripelakunya. Tindakan menarik tali sambungan dari pemantik kompor gas, dianggap merupakan tindak lanjut dari pelaku, yang semestinya tindakan menarik tali tersebut tidak perlu ada dalam perbuatan permulaan pelaksanaan (dalam hal ini permulaan pelaksanaan dianggap ada jika A atau B menarik tali tersebut).
  4. Mungkin saja dalam kasus initerjadihal-halyang tidak terduga sehingga pembakaran tidak akan terjadi, umpamanya :
    • Pemantik kompor gas menjadi macet;
    • Sumbu yang diberibensintidak mau menyala;
    • Api tidak merambat, meskipun sebagian sumbu telah menyala
    • Ada yang menepiskan tangan sewaktu tangan itu sedang akan menarik tali
Apabila diperhatikanternyatadalam kasus di atas Hoge Raad lebih menggunakan teoriobjektif, dengan menyebutkan alasan yang pertama (1) diatas. Disamping itu juga menyebutkan bahwa apa yang dilakukan A dan B merupakan persiapan pelaksanaan (2) seperti yang dianut dalam teoriobjektif. Alasan (3) dan (4) Hoge Raad malah memberikan contoh-contoh tentang kapan suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan pelaksanaan.
 
Hammer Arrest (Kasus Palu) yaitu putusan Hoge Raad tanggal 21 Mei 1951, N.J. 1951, 480 yang kasus posisinya sebagai berikut:A seorang priayang menjalinhubungan asmara dengan B seorang wanita yang telah bersuami, yakniC. A dan B bersepakat untuk membunuh C dengan jalan akan memukulC pada waktu C tidur, dan setelah C pingsan akan menempatkannya di dapur dan akan dibuka saluran gas di dapur, sehingga C akan meninggalkarena keracunan gas. 

Pada suatu malam yang telah ditentukan, B memberikan kunci rumah kepada A sehingga A dapat masuk ke rumah B dan selanjutnya masuk ke kamar tidur, A menghempaskan paluke arah kepala namun tidak mengenai kepala C, karena kebetulan C menggeser badannya/kepalanya pada saat yang tepat. C terbangun dan melakukan perlawanan. A memukul C beberapa kali dan melarikan diri dari rumah tersebut.

Ditingkat kasasi terdakwa mengutarakan bahwa, pertimbangan Pengadilan Tinggiyang menyatakan perbuatan A dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam suatu niat untuk pembunuhan adalah tidak tepat. Karena dianggap rencana pembunuhannya adalah dengan cara menempatkan korban di dapur dan saluran gas akan dibuka agar korban meninggal karena keracunan gas,bukan dengan memukul palu. 

Dalam perkara tersebut Hoge Raad ternyata memutuskan bahwa apa yang dilakukan terdakwa telah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. Apabila seseorang dengan pertimbangan yang masak dan dengan tenang sebelumnya untukmelakukan pembunuhan, apalagisebelumnya telah dipersiapkan pemukuldan masuk ke rumah korban dengan kunci yang telah dipersiapkan sebelumnya, lalu masuk kekamar tidur, halitu sudah merupakan perwujudan dari pembunuhan yang diniati.

Telah direncanakan sebelumnya ada 2 tahap dalam melaksanakan pembunuhan. Yang pertama adalah memukulkorban hingga pingsan, tahap kedua adalah menempatkan korban di dapur, membuka selang gas, sehingga korban akan meninggal karena keracunan gas. Dengan demikian tahap pertama sudah dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan dari perbuatan yang diniati.

Apabila dibandingkan antara putusan perkara Eindhovense Brandstichting dan Kasus Palu, terhadap kedua-duanya dipakai teori objektif. Namun dalam perkara Eindhovense Brandstichting perbuatan tahap pertama yaitu perbuatan rumah siap dibakar dianggap belum merupakan perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sedangkan dalam kasus Palu
 
perbuatan tahap pertama yaitu pemukulan dengan palu agar korban jatuh pingsan, dianggap telah merupakan perwujudan dari perbuatan yang diniatinya. Dengan demikian Hoge Raad dalam kedua putusannya itu telah memakai teori objektif, meskipun dengan menggunakan rumusan yang disesuaikan dengan keadaan yang konkrit.

Menurut Moeljatno, suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dari delikyang dituju oleh sipelaku, jika memenuhi tiga syarat. Syarat pertama dan kedua diambil dari rumusan percobaan Pasal 53 KUHP, sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik.

Adapun syarat-syarat tersebut adalah:
  • Secara objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik yang dituju. Atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
  • Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau diarahkan kepada delik yang tertentu tadi.
  • Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa berkenaan dengan ketiga syarat tentang permulaan pelaksanaan tersebutperlu dikemukakan catatan-catatan sebagai berikut:
  • Oleh karena delik yang di tuju tidak diketahui, lebih dahulu bahkan harus ditetapkan, antara lain dengan mengingat perbuatan yang telah dilakukan. Maka istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP tidak mungkin mempunyai arti yang tetap.
  • Karenanya juga tidak mungkin dipakai pegangan untuk menentukan, apakah sudah ada percobaan yang dapat dipidana atau belum. Untuk ini (yaitu untuk menentukan delik yang dituju) diperlukan adanya bukti-bukti di luar wet.
  • Sehubungan dengan ini,meskipun perbuatan yang dilakukan ini mungkin dipisahkan dari unsur niat, tapi dalam pada itu jangan lalu berpendapat bahwa isinya niat hanya mungkin dibuktikan dari perbuatan yang telah dilakukan saja.
Khusus untuk catatan yang ketiga (c) seperti yang tersebut diatas Moeljatno secara khusus mengutip  beberapa contoh yang dikemukakan oleh Noyon yaitu :
  • Bagaimana dapat dibuktikan seseorang dengan penggunaan nama palsu atau tipu daya yang disertai dengan permintaan untuk memberikan suatu benda, bahwa orang tersebut juga betul-betul berminat untuk mendapatkan benda tersebut. Mungkin saja ia hanya bermaksud untuk membuktikan bagaimana mudahnya orang lain itu mempercayainya.
  • Mengulurkan tangan ke arah barang orang lain,denganitu saja tidak mungkin dibuktikan kehendak untuk mengambilbarang tersebut. Apalagi mengambil dengan maksud dimiliki secara melawanhukum.
  • Membawa api ke barang yang mudah dibakar, dengan itu saja tidak dapat dibuktikan adanya niat untukmembakar barang tersebut.
  • Melukaiseseorang tidak mungkin membuktikan adanya niat untuk membunuh
Dengan demikian menurut Loebby Loqman, sebenarnya pandangan Moeljatno adalah campuran antara kedua teori yakni campuran antara teori objektif dan teori subjektif. Hal terpenting bagi Moeljatno adalah sejauhmana sifat melawan hukum dari perbuatan yang dipermasalahkan sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan.

Semoga Bermanfaat...
Admin Nadia Pratiwi, SH
Web Blog : Andi Akbar Muzfa



Previous
Next Post »