Dasar Hukum Penyertaan Menurut KUHP
Pengaturan mengenai pembagian penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Berikut bunyi pasal-pasal mengenai penyertaan dalam KUHP:
Pasal 55
- Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
- mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
- mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
- Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
- Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
- Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP diatas maka penyertaan terbagi menjadi dua yaitu pembuat dan pembantu. Pembuat diatur dalam Pasal 55 KUHP yaitu plegen (mereka yang melakukan), doenplegen (mereka yang menyuruh melakukan) medeplegen (mereka yang turut serta melakukan), uitlokken (mereka yang menganjurkan). Sedangkan pembantu diatur di dalam Pasal 56 KUHP yaitu pembantuan pada saat kejahatan dilakukan dan pembantuan sebelum kejahatan dilakukan.
Doenplegen (Menyuruh)
Menyuruh lakukan adalah terjemahan dari doenplegen, sedangkan orang yang menyuruh lakukan disebut dengan istilah doenpleger. Seseorang yang menyuruh orang lain melakukan suatu perbuatan, sama halnya dengan orang tersebut melakukan perbuatan itu sendiri.
Menyuruh yaitu dimana auctur intelectualis menyuruh auctor physicus (dalam hal ini auctor physicus yang tidak dapat diminta pertanggung jawabannya) untuk melakukan tindak pidana. Auctur intelectualis tidak berbuat secara langsung, melainkan menggunakan orang lain sebagai alat untuk mengendalikan auctor physicus tersebut.
Dari pengertian di atas di dapat dipahami beberapa hal.
Pertama peserta yang ada pada doenplegen yaitu:
- Auctur intelectualis sebagai pembuat tidak langsung
- Auctor physicus sebagai pembuat langsung
Menurut keterangan MvT, auctor physicus berdasarkan perbuatannya dapat dibagi menjadi:
- Tindak pidana terwujud adalah atas perbuatan auctur physicus sepenuhnya. Artinya auctor intelektualis tidak berperan secara nyata dalam tindak pidana tersebut.
- Auctur physicus murni sebagai alat.
Kedua yang menjadi ciri-ciri dari doenplegen yaitu:
- Alat yang dipakai adalah manusia.
- Alat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Simons, auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena:
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana yang bersangkutan (dwaling).
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld, baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang bagi tindak pidana tersebut.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak pidana.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan dimana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan tersebut diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang yaitu sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
Sedangkan menurut VOS, auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena :
- Orang yang disuruh melakukan adalah tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya oleh karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan terganggu jiwanya karena penyakit, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”
- Auctur physicus itu terpaksa melakukan perbuatan tindak pidana karena adanya pengaruh daya paksa (overmacht) sebagai mana yang dimaksud Pasal 48 KUHP yang berbunyi “Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
- Manus ministra melakukan perbuatan yang pada kenyataannya tindak pidana oleh sebab karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) KUHP.
- Pada diri auctur physicus tidak terdapat kesalahan baik berupa kesengajaan atau kealpaan.
- Auctur physicus dalam melakukan perbuatan yang tidak memenuhi salah satu dari unsur tindak pidana yang dirumuskan undang-undang. Misalnya tindak pidana itu membutuhkan kualitas pribadi tertentu pembuatnya, atau memerlukan unsur kesengajaan atau unsur melawan hukum, tetapi pada orang itu maupun pada perbuatannya tidak ada.
Menurut Moeljatno auctur physicus tidak dapat dipertanggungjawabkan karena :
- Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan, ataupun kemampuan bertanggungjawab.
- Berdasarkan Pasal 44 KUHP yaitu karena cacat jiwa atau terganggu karena penyakit.
- Dalam keadaan daya paksa seperti yang dimaksud Pasal 48 KUHP.
- Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP yaitu jika diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkupan pekerjaannya.
- Orang yang disuruh tidak punya sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik.
Menurut MvT WvS Belanda menyuruh melakukan adalah dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan.
Dari keterangan MvT itu dapat ditarik unsur-unsur dari bentuk menyuruh, yaitu:
- Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya.
- Orang lain itu berbuat:
- Tanpa kesengajaan.
- Tanpa kealpaan.
- Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
- Yang tidak diketahuinya.
- Karena disesatkan.
- Karena tunduk pada kekerasan.
Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah bahwa jelas orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subjektif (batin: tanpa kesalahan, atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (objektif).
Berdasarkan keterangan MvT tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran objektif, ialah kenyataannya tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekusaannya sebagai alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan, dan tanpa tanggungjawab. Walaupun sesungguhnya juga tetap memperhatikan hal-hal yang ternyata subjektif, yakni dalam hal tidak dipidananya pembuat materiilnya (auctur phisycus) karena dia berbuat tanpa kesalahan, dan dalam hal tidak dapat dipertanggungjawabkan karena keadaan batin orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan, sesuatu yang subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah bersifat objektif.
Dari penjelasan di atas menurut Adami Chazawi ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan mengapa auctus physicus tidak dapat dipidana, yaitu:
1. Tanpa Kesengajaan atau Tanpa Kealpaan
Perbuatan auctur physicus pada kenyataannya merupakan telah mewujudkan tindak pidana, namun tidak ada kesalahan di dalamnya, baik karena kesengajaan atau karena kealpaan.Karena alasan tanpa kesengajaan, seorang pemilik uang palsu (actus intelectualis) menyuruh pembantunya berbelanja di pasar dengan menyerahkan 10 lembar uang yang diketahuinya palsu.
Pembantu dalam kasus ini sebagai actus physicus dalam kejahatan mengedarkan uang palsu pasal 245 KUHP yang berbunyi
“Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu, terkandung unsur kesengajaan. Dalam hal ini pembantu ini tidak mengetahui tentang palsunya uang yang dibelanjakannya. Keadaan tidak diketahuinya itu artinya pada dirinya tidak ada unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan)
Karena kealpaan seorang ibu membenci pada seorang pemulung karena seringnya mencuri benda-benda yang diletakkan di pekarangan rumah. Pada suatu hari ia mengetahui pemulung yang dibencinya itu sedang mencari benda-benda bekas di bawah jendela rumahnya yang loteng. Untuk membuat penderitaan bagi pemulung itu, dia menyuruh pembantunya untuk menumpahkan air panas dari jendela, dan mengenai pemulung itu. Pada diri pembantu tidak ada kelalaian karena telah diketahuinya bahwa selama ini tidak ada orang di bawah jendela dan pembantu itu telah sering pula membuang air dari jendela.
2. Karena Tersesatkan
Apa yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabkan oleh pengaruh dari orang lain (in casu manus domina) dengan cara-cara yang isinya tidak benar atau palsu, yang atas kesalahpahaman itu memutuskan kehendak dan berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain timbul kesalahapahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan oleh penyuruh. Sehingga apa yang diperbuat oleh orang yang tersesatkan oleh karenanya dipertanggungjawabkan pada orang yang sengaja menyebabkan keadaan tersesatkan tersebut.
Seorang berkehendak untuk mencuri sebuah koper milik seorang penumpang kereta api. Sejak semula di stasiun, sebelum orang itu naik kereta, orang jahat itu telah menguntitnya dan kemudian ikut pula menaiki kereta. Ketika pemilik koper itu sedang tertidur lelap, dimana kereta api sedang berhenti pada suatu stasiun, orang jahat tadi menyuruh seorang kuli angkut untuk menurunkan koper itu dan membawanya kesebuah taksi yang kemudian dipesan.
Pada peristiwa ini, kuli tadi telah melakukan perbuatan mengambil koper milik orang lain oleh sebab tersesatkan. Disini telah terjadi pencurian koper, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada kuli, melainkan pada orang jahat yang menyuruh.
3. Karena Kekerasan.
Apa yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) itu adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan fisik yang besar, yang ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu fisiknya tidak berdaya. Dalam hal bentuk penyuruh, kekerasan ini datangnya dari auctur intelectualis yang ditujukun pada auctur physicus, sehingga orang yang menerima kekerasan fisik ini tidak mampu berbuat lain atau tidak ada pilihan lain selain apa yang dikehendaki oleh pembuat penyuruh.
Lalu menjadi pertanyaan mungkinknah seseorang yang tidak berkualitas, menyuruh seseorang yang berkualitas misalnya dalam kejahatan jabatan? Misalnya saja seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh seseorang yang pegawai negeri untuk melakukan kejahatan jabatan? Untuk menjawab tersebut ada 2 jawaban para sarjana.
- Mungkin karena bentuk doenplegen bukanlah pembuat tunggal (dader), tetapi tanggung jawabnya saja yang disamakan dengan pembuat tunggal, maka dia tidak harus memiliki kualitas itu. Orang yang berkualitas itu adalah dader saja, bukan termasuk doen pleger. Pendapat ini dianut Jonkers, Vos, dan Pompe.
- Tidak mungkin karena tidak mungkin seorang yang bukan pegawai negeri menyuruh melakukan kejahatan jabatan pada seorang pegawai negeri, karena tidak mungkin dapat menyuruh lakukan sesuatu yang dia sendiri tidak dapat melakukan itu. Artinya yang dapat menjadi penyuruh adalah pegawai negeri sipil juga. Pendapat ini dianut oleh Van Hammel dan Simons.
Orang yang menyuruh melakukan mengambil peran sendiri pula, tetapi berbeda dengan pembujuk karena ia mempergunakan seorang perantara yang dapat dipidana guna mencapai tujuannya. Kadang-kadang juga diungkapkan seperti berikut ini, orang yang “menyuruh melakukan” itu mempergunakan orang lain sebagai “alat tak berkehendak”. Tidak dapat dipidananya itu mungkin dari ketidakmampuan bertanggungjawab sebagaimana pasal 44 KUHP atau dari ketiadaan kesengajaan yang dipersyaratkan untuk si perantara. Ciri menyuruh melakukan asli, yakni mempergunakan orang lain (yang tidak mampu bertanggung jawab atau yang tidak tahu) seakan-akan sebagai alat tak berkehendak di tangannya sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan jahat.
Ada tiga syarat penting dalam doenplegen.
- alat yang dipakai untuk melakukan suatu perbuatan pidana adalah orang.
- orang yang disuruh tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan atau kemampuan bertanggungjawab
- sebagai konsekuensi syarat kedua adalah bahwa orang yang disuruh melakukan tidaklah dapat dijatuhkan pidana.
Contoh, A dan B bertentangga, mereka sering bertengkar mulut sampai suatu ketika timbul niatan dari A untuk melukai B. Pada saat B sedang berjalan di depan rumah, A lalu menyuruh anaknya C yang berusia 10 tahun untuk melempari B dengan batu yang ada di halaman . C kemudian melempari B dan mengakinatkan luka di kepala. Dalam konteks yang demikian, A adalah doenpeleger atau orang yang menyuruh lakukan sedangkan C adalah orang yang disuruh untuk melakukan suatu perbuatan pidana atau hanya sebagai alat semata atau manus ministra, sudah tentu yang dimintai pertanggungjawaban pidana adalah A bukan C.
Semoga Bermanfaat...
Admin : Nurhidayah Salihin, SH
Web Blog : Dialog Kebenaran