Alasan Penghapusan Pidana Umum Menurut Undang-Undang yang dikarenakan alasan Melaksanakan Perintah Undang-Undang dan Perintah Jabatan.
Melaksanakan Perintah Undang-Undang
Melaksanakan perintah undang-undang terdapat pada Pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa : “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Ketentuan ini merupakan pertentangan antara dua kewajiban hukum.
Artinya perbuatan tersebut di satu sisi untuk menaati suatu perbuatan, namun disisi lain perbuatan tersebut melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan perintah undang-undang digunakan theory of lesser evils atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan. Dengan demikian melaksanakan perintah undang-undang merupakan alasan pembenar yang menghapuskan unsur melawan hukumnya perbuatan.
Dalam melaksanakan perintah undang-undang, prinsip yang dipakai adalah pertama subsidaritas yaitu prinsip yang berkaitan dnegan perbuatan pelaku dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Dan kedua proporsionalitas yaitu prinsip yang ditekankan pada pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum yang lebih bersalah yang diutamakang. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang-undang adalah karakter dari pelaku. Apakah pelaku tersebut selalu melaksanakan tugas-tugas dengan itikad baik atau justru sebaliknya.
Contoh melaksanakan perintah undang-undang adalah seorang jurusita yang dalam rangka mengosongkan rumah, manaruh barang-barang yang disita dijalan. Hal ini bertentantang dengan peraturan yang melarang manruh barang-barang dijalan. Akan tetapi perbuatan jurusita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini mengosongkan rumah berdasarkan putusan pengadilan.
Perintah Jabatan
Pasal 52 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “ Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. Perintah jabatan yang dikeluarkan oleh yang berwenang memberikan hak kepada yang menerima perintah untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian hak ini menghapuskan unsur melawan hukumnya perbuatan sehingga dimasukkan sebagai alasan pembenar.
Menurut Hazewinkel Suringa bahwa tidak setiap perintah jabatan membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh penerima perintah, semuanya tergantung pada cara melakukan perintah atau alat-alat yang digunakan untuk melaksanakan perintah. Contohnya seorang kepala sipir penjara memerintahkan bawahannya untuk menjaga tahanan jangan sampai melarikan diri. Bawahan yang menerima perintah, tanpa sebab, kemudian memukul tahanannya. Tindakan bawahan tidak dapat dibenarkan berdasarkan perintah jabatan, karena cara melaksanaan perintah jabatan dilakukan secara tidak patut.
Ada tiga syarat seseorang dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana atas dasar melakukan perintah jabatan yaitu:
- Antara yang memerintah dan yang diperintah berada dalam dimensi hukum publik, contoh untuk mengurangi kemacetan, polisi lalu lintas memerintahkan pengguna kendaraan bermotor roda dua untuk melewati jalan yang dilarang masuk. Pengguna kendaraan bermotor roda dua tidak dapat dipidana karena memasuki jalan yang ada tanda larangannya berdasarkan perintah jabatan.
- Antara yang memerintah dan yang diperintah terdapat hubungan subordinasi atau hubungan dalam dimensi kepegawaian. Contohnya seorang letnan polisi diperintahkan oleh kolonel polisi untuk menangkap penjahat. Kolonel tersebut berwenang untuk memerintahkanya sehingga letnan polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan.
- Melaksanakan perintah jabatan harus dengan cara yang patut dan seimbang sehingga tidak melampaui batas kewajaran.
Perintah Jabatan Tidak Sah
Kalau perintah jabatan merupakan alasan pembenar, maka perintah jabatan yang tidak sah merupakan alasan pemaaf yang menghapuskan unsur dapat dicelanya pelaku. Hal ini didasarkan pasa Pasal 51 KUHP ayat (2) yang berbunyi: “ Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya dalam lingkungan pekerjaannya”.
Agar perintah jabatan yang tidak sah dapat berfungsi sebagai alasan pemaaf, maka harus memenuhi unsur sebagai berikut:
- Perintah itu dipandang sebagai perintah yang sah
- Perintah tersebut dilaksankan dengan itikad baik
- Pelaksanaan perintah tersebut berada dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Semoga Bermanfaat...
Admin : Sriwahyuni Muchtar, SH
Web Blog : Gerbang Masalalu