2.2 Penerapan alat bukti dalam kekuatan pembuktian
a) Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan bewijskracht yaitu masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilian terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian tersebut merupakan otoritas atau kewenangan hakim. Hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian antara alat bukti dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak dengan perkara yang sedangdisidangkan. Jika bukti tersebut relevan, kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut dapat diterima atau tidak.
Dalam hukum acara pidana, kekuatan semua alat bukti pada hakikatnya sama, tidak ada satu melebihi yang lain. Tegasnya alat bukti dalam hukum acara pidana tidak mengenal hierarki. Hanya saja ada ketentuan-ketentuan yang mensyaratkan keterkaitan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain. Oleh karena itu, dalam hukum acara pidana terdapat bukti yang bersifat sebagai pelengkap. Bukti tersebut timbul dari bukti yang lain.
b) Teknik pembuktian
Sistem Pembuktian
Dalam hukum acara pidana sistem hukum pembuktian dalam sebutan: “sistem negatif menurut undang-undang” seperti yang di atur dalam pasal 183 KUHAP sebagai berikut : “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sistem negative menurut undang-undang tersebut mempunyai maksud :
Dalam hal memutus perkara di sidang peradilan peranan hakim besar sekali, sebab meskipun alat bukti yang di ajukan penuntut umum lebih dari bukti minimum apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa salah ia harus di bebaskan. Dalam keyakinan yang di gunakan oleh hakim untuk menentukan bahwa terdakwa salah adalah keyakinan dari hati nurani yang suci dan tidak dipengaruhi oleh unsure dari luar tetapi keyakinan bersumber kepada yang maha pencipta. Maka dalam keputusannya selalu di dahului dengan ucapan “demi keadilan yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
Untuk menyatakan keyakinan dalam memutus perkara di dahului dengan petimbangan hakim yang menggunakan kalimat: “berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa” dan seterusnya.
Dalam praktek peradilan sering terjadi perkara perkaan yang bertujuan agar terdakwa di pidana, dengan adanya perkara perkaan ini wajib menuntut umum maupun hakim harus bersifat waspada, untuk itu meskipun terdakwa mengaku melakukan tindak pidana namun belum merupakan jaminan bahwa tindakpidana itu ia lakukan.
Dalam pembuktian yang harus di ingat penuntut umum: “bagaimana dengan alat bukti yang sah hakim yakin bahwa terdakwa melakukan tindak pidana dan berbuat salah.” Karena peranan kebebasan hakim dalam menerapkan hasil pembuktian kelihatan memegang peranan yang menentukan.
Dalam sistem pembuktian ada terdapat beberapa teori
- Teori Subjektif murni ( convection intime)
Dalam ajaran subjektif murni adalaha didasarkan kepada keyakinan hakim semata-mata. Maka dalam pelaksanaannya dibutuhkan seorang hakim yan luas pengetahuannya masalah hukum, adat istiadat, jujur dan mempunyai ketetapan hati yang tidak mudah dipengaruhi yang datang dari luar dirinya, sehingga keyakinannya murni timbul dari dalam hati sanubari.
Ajaran subjektif dianut pada zaman Ancien regime dimana raja-raja bertindak bebas dan sewenang-wenang, dengan demikian mempengaruhi tugas para hakim pada zaman itu sehingga hakim dalam memutus perkara tanpa memberi alasan yang berdasarkan undang-undang. (Hukum Acara Pidana) - Teori Positif (Positief Wetterlijk)
Ajaran ini didasarkan kepada kemurnian undang-undang seperti diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHAP yang bunyinya sebagai berikut: - Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Artinya hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan undang-undang, yang berarti tugas hakim hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka.
- Tidak dapat dimungkiri bahwa dengan asas legalitet tersebut yang dapat dipidana hanya mereka yang melakukan tindak pidana dan oleh aturan undang-undang secara tegas dinyatakan dilarang.
Dalam ajaran tersebut memberi kesempatan bagi orang melakukan perbuatan yang pada hakikatnya ia melakukan kejahatan tetapi karena tidak diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana ia lepas dari tuntutan pidana. - Teori Negatif (Negatief Wettelijk)
Apabila tindak pidana sudah dibuktikan dan ternyata terdakwa terbukti melangggar hukum dan dinyatakan salah, hakim dalam memutus perkara pidana masih diperlukan keyakinan atas tindak pidana yang sudah terbukti dan yang dinyatakan salah itu.Pasal 183 KUHAP mengatur ketentuan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Bahwa hakim sebelum menjalankan tugasnya telah mengangkat sumpah lebih dahulu, maka diharapkan tidak akan dipengaruhi, dari luar keyakinannya sedangkan dalam batinnya para hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. - Teori Pembuktian Bebas (Vrije Bewijsler)
Dalam teori ini seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus sebagai seorang ahli dalam bidangnya dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan keputusannya harus up to date tidak hanya terpaku kepada suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, ia wajib mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Dalam memutus perkara hakim tidak terikat kepada undang-undang semata tetapi didasarkan kepada ilmu pengetahuan dan logika, sehingga keputusan dapat menyentuh rasa keadilan masyarakat pada zamannya.
c). Alat-alat bukti yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti
Alat-alat bukti yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti ialah:
- 1. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan (unus testis nulus testis).
- Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri atas suatu kejadian yang tidak ada kaitannya satu sama lain, kecuali keterangan saksi-saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membuktikan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu (ketting bewijs).
- Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu).
- Saksi dalam memberi kesaksiannya merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh dari pemikiran saja.
- Keterangan saksi yang tidak di sumpah.
- Keterangan saksi yang dinyatakan di luar sidang.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa alat bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dan alat-alat yang digunakan untuk membuktikan suatu kebenaran peristiwa pidana di Indonesia yang sah adalah telah dijelaskan dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP.
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperbolehkan keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya. Dan,.
Pasal 184
- Sesuai dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP Alat bukti yang sah ialah:
- Keterangan saksi
- Keteranga nahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan terdakwa;
Kemudian kekuatan pembuktian yaitu masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilian terbuktinya suatu dakwaan.
Dalam hukum acara pidana sistem hukum pembuktian dalam sebutan: “sistem negatif menurut undang-undang” seperti yang di atur dalam pasal 183 KUHAP sebagai berikut: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Untuk menyatakan keyakinan dalam memutus perkara di dahului dengan petimbangan hakim yang menggunakan kalimat: “berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa” dan seterusnya.
Dalam hal memutus perkara di sidang peradilan peranan hakim besar sekali, sebab meskipun alat bukti yang di ajukan penuntut umum lebih dari bukti minimum apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa salah ia harus di bebaskan. - Saran
Dalam memutus suatu perkara pidana, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa atau tersangka jika hakim belum mendapati alat-alat bukti yang sah minimal dengan dua alat bukti, hal ini di negara Indonesia telah disebutkan dalam KUHAP tepat di buku ke empat Pasal 183 dan 184.
Dengan makalah ini, kami menyarankan agar setiap perkara pidana haruslah diproses (mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga memutus) sesuai dengan Kitab Undang-Undang Acara Pidana yang berlaku di Indonesia, agar tidak terjadi kesalahan dalam memutus perkara pidana.
Daftar Pustaka
Hamzah Andi, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika Offset
Hiariej Eddy.O.S., 2012, Teori Dan Hukum Pembuktian. Jakarta, Erlangga
Web Blog, 2023, Hukum Acara Pindana. Https/seniorkampus.blogspot.com.
Semoga Bermanfaat :
Admin : Arlina Arianti, SH
Pembina Blog : Andi Akbar Muzfa, SH
Sebelumnya :