MEWUJUDKAN HARMONISASI HUKUM PIDANA
MELALUI SINKRONISASI KUHAP DAN KUHP
DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA
I. LATAR BELAKANG
Sistem hukum pidana Indonesia berinduk pada KUHP yang berasal dari wetboek van Straftrecht dan KUHAP yang dianggap karya agung anak bangsa ternyata dalam perjalanannya banyak mengandung kelemahan, seperti halnya akhir-akhir ini muncul berbagai polemik dalam hukum pidana, baik dalam tataran menyangkut pembentukan maupun dalam tataran penerapan terkait dengan formulasi yuridis dan non yuridis. Hal tersebut dikarenakan banyaknya aturan hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk "statutory law" (statutory legislation) dengan kata lain yang merupakan aturan khusus (lex specialis) di Indonesia yang lebih dominan dalam penerapannya, sehingga terkesan terjadi tumpang tindih, terutama menyangkut rumusan azas dengan rumusan tindak pidana.
Dalam konteks substansial statutory legislation atau aturan khusus, tidak saja mengatur sanksi pidana terhadap para pelanggarnya, tetapi cenderung memformulasikan azas dan memperluas pengertiannya, baik di ranah hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil, sehingga tujuan pembentukan dari statutory legislation (aturan khusus) melenceng didalam upaya mendukung dan melengkapi KUHP dan KUHAP yang berlaku. Pengaturan substansi hukum melalui special legislation tidak saja hanya memunculkan ruang interpretasi, tetapi telah menciptakan domain hukum baru atau microsystem.
Perubahan dimaksud disebut juga sebagai proses dekodifikasi dan Indonesia juga terkena dampak pengaruh dari dekodifikasi tersebut dan oleh S Hamid Attamimi dikatakan bahwa :
"Untuk menghadapi perubahan dan perkembangan jaman kebutuhan masyarakat yang semakin cepat, sudah saatnya mengarahkan pembentukan hukum melalui penyusunan kodifikasi. Karena pemikiran tentang kodifikasi hanya akan menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan bukan tidak mungkin selalu ketinggalan jaman".
Konsekuensi dari dekodifikasi adalah melahirkan banyak microsystem dalam suatu sistem hukum, sehingga terkadang menimbulkan ketidaksinkronan atau ketidakkonsistenan antara satu microsystem (statutory legislation) dengan microsystem lainnya dan menimbulkan disharmonisasi dalam penerapan prinsip antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau bahkan justru dengan KUHP atau KUHAP, karena aturan khusus yang terdapat di dalam microsystem melahirkan prinsip-prinsip yang berbeda atau pengecualian dari aturan umum, tidak terbatas kepada rumusan tindak pidana, tetapi juga azas dan hukum acaranya.
II. PERGESERAN FORMULASI AZAS DAN TINDAK PIDANA DALAM PENERAPAN HUKUM PIDANA FORMIL DAN MATERIIL
Dalam sistem hukum pidana nasional, sejak kemerdekaan tahun 1945, sebenarnya telah terjadi nasionalisasi hukum pidana melalui Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang KUHP, walaupun hasil dari terjemahan Wetboek van Strafrecht dengan beberapa penyesuaian-penyesuaian, begitu juga sedangkan di bidang hukum acara pidana masih diberlakukan HIR yang kemudian baru terjadi nasionalisasi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Namun dalam perkembangannya, banyak para ahli hukum Indonesia yang menuntut ilmu di Negara-negara Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia yang berbasis sistem Civil Law yang berbeda cara pandangannya sedikit banyak mulai mempengaruhi pembentukan sistem hukum nasional yang pada awalnya murni berbasis sistem common law yang berasal dari Negara-negara Eropa Continental melalui Wetboek van Strafrecht dan Herziene Inlandsch Reglement (HIR).
Perkembangan inilah mewarnai sistem common law melalui statutory legislation yang awal tujuannya adalah untuk melengkapi ketertinggalan hukum pidana dan acara pidana yang diatur dalam KUHP dan KUHAP. Pembaharuan hukum pidana tersebut dapat diketahui dibeberapa bidang misalnya tindak pidana yang dikategorikan sebagai transnational crimes yaitu tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia dan pencucian uang.
Pembaharuan hukum pidana dan acara pidana nasional harus diapresiasi oleh karena Indonesia bagaikan tempat laboratorium hukum atas perpaduan sistem hukum Indonesia yang awalnya berbasis civil law dengan common law yang menghasilkan corak khas sistem hukum Indonesia, namun terlepas adanya ciri khas sistem hukum Indonesia tersebut juga menimbulkan ketidaksinkronan dalam membentuk asas dan norma umum yang diatur di dalam KUHP dan KUHAP dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan hasil dari pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Ketidaksinkronan dalam penerapan azas dan norma yang menghasikan disharmonisasi dalam sistem hukum pidana nasional dapat dilihat seperti contoh yang sederhana dalam hukum pidana materiil, antara lain :
- Rumusan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dimana deliknya terlalu luas sehingga dapat berakibat hukum kepada pihak lainnya, baik pihak yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan, rumusan pasal 1 angka 18 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
- Rumusan pengertian permufakatan jahat yang mencakup juga pengertian penyertaan dan pembantuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP, rumusan pasal 137 huruf a dan huruf b Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 terkait dengan pengaturan yang tindih dengan pasal 1 angka 1, pasal 2, pasal 3 dan pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
- Rumusan pengertian percobaan dalam pasal 53 KUHAP yang sanksi pidananya dikurangi 1/3 dari ancaman pokok didalam pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
- Rumusan tentang pengertian suap khususnya penerima suap di pasal 5, pasal 11, pasal 12 b huruf a, b dan c, serta pasal 12 b Undang-undang 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terkesan rancu, bila dibandingkan dengan pasal 418 atau pasal 419 KUHP.
- Rumusan pengertian Keuangan Negara baik di pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan dengan pengertian keuangan Negara di dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Begitu juga di dalam Hukum Pidana Formil seperti:
- Terkait dengan masa waktu penangkapan yang diatur didalam pasal 19 ayat 1 KUHAP masa penangkapan tersangka adalah selama 1 Hari, maka didalam pasal 76 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika dinyatakan masa penangkapan adalah selama 3 hari.
- Terkait dengan masa waktu penahanan dalam tingkat penyidikan yang diatur didalam pasal 24 ayat 1 KUHAP adalah selama 20 hari serta dapat diperpanjang oleh Jaksa selama 40 hari. Berbeda dengan masa waktu penahanan yang diatur didalam pasal 73 B ayat 2 UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dilakukan penahanan selama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 10 haridan juga diatur didalam pasal 25 Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme penahanan dapat dilakukan paling lama 6 (enam) bulan.
Selain dari itu perbedaan antara hukum acara yang terdapat didalam KUHAP dan Undang undang pidana diluar KUHAP antara lain menyangkut tentang perluasan pengertian alat bukti, prosedur pemeriksaan, prosedur permintaan keterangan dan kewenangan penahanan penyidik pegawai negeri sipil .
Perbedaan dalam kerangka penegakan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, menyebabkan perbedaan perlakuan proses hukum dan menimbulkan tiadanya prinsip equality before the law sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD'45 yang berbunyi: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Selain berbagai konvensi internasional yang sudah diratifikasi seperti Prevention Of Crime and Threatment Of Offenders dan International Covenant on Civil and Political Rights.
Memang harus diakui bahwa konstruksi konsepsional baik tentang rumusan yuridis maupun tentang rumusan non yuridis berkaitan dengan azas-azas umum dan substansi lainnya tidak semuanya diatur di dalam KUHP dan KUHAP, tetapi konstruksi konsepsional terkait dengan azas dan substansi yang berlaku universal telah dipahami oleh para sarjana hukum dan diajarkan kepada mahasiswa. Contoh sederhana seperti azas lex specialis derogate legi generali sistematis (logische specialiteit), lex superior derogate legi inpriori serta lex posterior derogate legi priori, tetapi di dalam praktek nampaknya azas-azas tersebut selalu dilanggar dan terkesan undang-undang juga tidak memberikan pembatasan tentang sejauhmana aturan khusus tersebut dapat diterapkan mengganti aturan yang bersifat umum dan aturan khusus di undang-undang lainnya.
Untuk terjadinya harmonisasi diperlukan suatu sinkronisasi atau keselarasan antara aturan umum dan aturan khusus baik yang diatur didalam KUHP dan KUHAP maupun perundang-undangan pidana diluarnya. Harmonisasi tersebut meliputi keseluruhan substansi yang harus merupakan kesatuan system, baik menyangkut masalah perumusan azas, perumusan tindak pidana berikut sanksinya maupun acaranya atau pelaksanaannya yang mengatur hukum pidana materiil yang bersifat abstrak dapat diberlakukan secara nyata.
Disamping itu didalam pembaruan hukum pidana dengan menggunakan pendekatan lex specialis ini tidak akan akan terjadi tumpang tindih dalam penerapannya, jika para pembuat Undang-undang memahami tujuan dan pengaturannya secara khusus suatu ketentuan undang-undang dan untuk itu para pembuat undang-undang seyogianya memahami dan menguasai terlebih dahulu, tidak saja terkait dengan aturan umum atau azas azas yang diatur didalam KUHP dan KUHAP, tetapi juga seyogianya memahami dan mengetahui berbagai teori-teori hukum.
III. SINKRONISASI HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA MELALUI PENDEKATAN KODIFIKASI UNTUK MEWUJUDKAN SISTEM HUKUM NASIONAL YANG TERINTEGRASI
Melihat banyaknya statutory law atau microsystem yang mengatur hal yang sama, akan menimbulkan inconsistency, uncertainty, dan incomphrehensif dalam menerapkan hukum, sehingga permasalahan itu menimbulkan pemikiran rekodifikasi, sebagaimana yang dikatakan oleh Maria Luisa Murillo sebagai berikut:
"the recodification process brought new vitality to the civil law traditions by means of partial and global reforms to avoid gradual obsolescence in the civil codes. Furthermore, the global reforms have promoted the drafting of new civil codes that differ substantially from "the classical" 19th century codification. The method of recodification takes into account new criteria to draft civil codes including the use of comparative law to investigate approaches and solutions to common social problems, taking into account the diversity of society for determining how to regulate legal institutions, awareness about the limits of the law prevents excessive casuistry, the reinforcement of judicial role and the tendency to general clauses etc.
Adapun tujuan utama kodifikasi adalah untuk menempatkan hukum agar mudah diakses masyarakat, praktisi hukum dan dapat mengikat hukum itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh V.C.R.A.C Crabbe yaitu: "Firtsly to make the law more accessible to the public and to the legal profession, secondly to improve the law in general".
Menurut Fockema Andreae, Codificatie adalah penyusunan dan penetapan perundang-undangan dalam kitab-kitab secara sistematis bagi bagian-bagian bidang hukum yang agak luas; juga hasil penyusunan tersebut, keseluruhan kitab undang-undang.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru bagi Indonesia, oleh karena tradisi hukum Indonesia berasal dari tradisi Eropa Kontinental yang menganut kodifikasi. Kodifikasi berasal dari kata Codifikatie yang berarti penyusunan dan penetapan peraturan perundang-undangan dalam kitab secara sistematis bagi bagian bidang hukum yang agak luas. Melalui pendekatan kodifikasi maka penyusunan ketentuan hukum substansi (materiil) maupun ketentuan hukum acara (formil) dapat diharmonisasi karena terkumpul dalam suatu kitab atau codex.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kodifikasi memiliki sisi yang sangat dibutuhkan pada dewasa ini, yaitu:
- Adanya kepastian hukum,
- Adanya penyederhanaan hukum,
- Adanya kesatuan hukum.
Kodifikasi merupakan basis dari Civil Law System namun penggunaan model civil code saat ini sudah tidak didominasi oleh negara-negara yang berbasis sistem civil law saja, misalnya Amerika Serikat telah memiliki 52 Criminal Code, yaitu the Federal Criminal Code dan Criminal Code untuk masing-masing negara bagian.
Kodifikasi yang sudah dianut oleh negara yang berbasis sistem common law dan civil law saat ini sudah tidak sama dengan kodifikasi pada abad ke-19. Ada 4 (empat) bentuk kodifikasi yang dapat di identifikasi, yaitu:
- Compilation:
Disusun secara bersamaan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku, penyusunannya dilakukan baik secara kronologis atau berdasarkan subjek, tanpa mengobah bentuknya. Bentuk ini biasanya merupakan kumpulan dari peraturan perundang-undangan yang digabung secara pribadi untuk digunakan oleh para praktisi agar peraturan-peraturan tersebut mudah diakses. Misalnya, Halsbury's Statues di Inggris atau seperti French Code Administrative yang dipublikasikan oleh Dalloz atau seperti koleksi undang-undang Schönfelder di Jerman. - Consolidation
Pengumpulan ke dalam satu peraturan perundang-undangan yang sebelumnya terdiri dari beberapa peraturan. Di Inggris prosedur tersebut dibuat secara resmi dalam Consolidation of Enactment (procedure) Act 1949 dan the 1992 European Council of Edinburg. Tujuan dari Consolidation adalah untuk menyederhanakan dan mengklasifikasi aturan yang berlaku yang diatur dalam peraturan lain. - Restatement of the Law
Suatu cabang hukum disusun yang disusun menjadi satu, berbaur dan komprehensif. Jenis kodifikasi ini tidak memerlukan pertimbangan ulang dari hukum yang terkait dengan reformasi walaupun beberapa item termasuk reformasi hukum, contohnya adalah the Restatement of the American Law Institute atau di Inggris ada the Sale Goods Act 1893 dan 1979. Komisi hukum di Inggris juga telah mengadopsi bentuk kodifikasi ini untuk membuat KUHP Inggris dan Wales. - Codification Reform
Bentuk ini adalah bentuk reformasi dari kodifikasi di abad ke 19, pada bentuk ini code (KUHP) dibuat lebih mudah untuk dilakukan amandemen baik secara parsial maupun per pasal dan tidak perlu mengamandemen code (KUHP) secara keseluruhan.
Berkaitan dengan perkembangan bentuk kodifikasi di atas, perumusan sistem hukum pidana atau sistem pemidanaan substantif yang menerapkan prinsip dasar atau prinsip umum dalam membuat bab ketentuan pidana adalah sebagai prinsip harmonisasi kesatuan sistem dimana harmonisasi kesatuan sistem yang dimaksud disini adalah harmonisasi eksternal dengan aturan umum KUHP (dan KUHAP, kursif penulis) yang menjadi induk dari sistem hukum pidana substantif yang berlaku saat ini.
Saat ini sudah ada rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini diharapkan dapat menggantikan KUHP yang merupakan kelanjutan dari Nederlands Indiës Wetboek van Strafrecht (WvS) dan KUHAP yang dirasakan sudah tidak sesuai dan sejalan dengan perkembangan hukum, dan diharapkan dapat mengharmonisasi statutory legislation yang berlaku dan tersebar di dalam berbagai sektor hukum. Makna harmonisasi tidak berarti ketentuan pidana dalam undang-undang khusus harus sama atau tunduk sepenuhnya dengan sistem yang ada dalam aturan umum KUHP (dan KUHAP, kursif penulis), sehingga sekiranya ketentuan pidana dalam undang-undang khusus akan menyimpang dari aturan umum atau membuat ketentuan yang baru yang belum ada atau belum diatur dalam KUHP (dan KUHAP, kursif penulis), maka undang-undang khusus itu harus membuat atau pengertian khusus mengenai hal-hal itu.
Dari pendekatan ini jelas walaupun harmonisasi ketentuan pidana dalam undang-undang khusus harus tetap memperhatikan codex, namun kenyataannya tetap terjadi disharmonisasi dikarenakan undang-undang yang bersifat sektoral memfokuskan kepada harmonisasi internal undang-undang itu sendiri dan harmonisasi eksternal dengan codex seperti KUHP, namun tidak diharmonisasikan dengan undang-undang sektoral lain yang saling beririsan atau berkaitan.
Hans Kelsen menyatakan bahwa kesatuan sistem hukum secara hirarkis kelihatannya dipersoalkan ketika norma hukum ditingkat lebih rendah gagal menyesuaikan dengan norma ditingkat lebih tinggi yang mengaturnya, dengan kata lain ketika norma-norma ditingkat yang lebih rendah berlawanan dengan determinasi yang mendasari urutan hirarkis norma-norma, selain itu adanya masalah adanya satu norma dalam suatu undang-undang bertentangan dengan norma di undang-undang lainnya, misalnya undang-undang yang tidak konstitusional, peraturan yang tidak sah (peraturan yang bertentangan dengan undang-undang), keputusan hakim atau tindakan administratif yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan). Untuk menghindari terjadinya ketentuan pidana yang dapat bertentangan dengan norma hukum dalam KUHP dan hukum acaranya dalam KUHAP bertentangan dengan undang-undang yang mengatur ketentuan pidana dan ketentuan acara sektoral lainnya, maka seyogiyanya kita kembali ke sistem kodifikasi.
Dalam rangka membentuk sistem hukum pidana nasional, baik materiil maupun formil yang terintegrasi melalui kodifikasi namun pembentukannya tetap harus melalui mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijk regelgeving) yang meliputi asas formal dan material sebagaimana dikemukakan oleh Van Der Vlies sebagaimana yang dikutip oleh Hamid S Attamimi membedakan 2 (dua) kategori azas-azas yaitu :
1. Azas-azas Formal yang meliputi :
- Azas tujuan jelas ;
- Azas lembaga yang tepat ;
- Azas perlunya pengaturan ;
- Azas dapat dilaksanakan ; dan
- Azas Konsensus
2. Azas-azas Material meliputi :
- Azas kejelasan Terminologi dan Sistematika ;
- Azas bahwa peraturan perundang-undangan mudah dikenali ;
- Azas persamaan ;
- Azas kepastian hukum; dan
- Azas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.
Kemudian didalam pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang baik meliputi :
- Kejelasan Tujuan ;
- Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
- Kesesuaian antara jenis dan materi muatan ;
- Dapat dilaksanakan ;
- Kedayagunaan dan Kehasilgunaan ;
- Kejelasan Rumusan; dan
- Keterbukaan.
Melalui azas pembentukan perundang-undangan diatas dapat ditentukan suatu Ratio Legis dari perundang-undangan tersebut, yakni suatu prinsip dasar yang membentuk tujuan umum dibentuknya suatu perundang-undangan. Ratio Legis inilah yang menjadi kerangka acuan perumusan ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Untuk itu tidak saja diperlukan referensi yang lengkap, tetapi juga pemahaman yang dalam terhadap berbagai produk legislasi satu dengan yang lainnya, sehingga kebijakan dalam hukum pidana dapat mensinkronisasikannya (synchronization is the process of precisely matching or coordinating 2 or more activities in time) sebagai satu kesatuan sistem, baik terhadap azas maupun rumusan tindak pidana serta hukum acara dalam berbagai "statutory law" (statutory legislation) yang saat ini berlaku dan tersebar didalam berbagai sektor hukum melalui RUU KUHP dan RUU KUHAP yang sedang dibahas saat ini di DPR.
Oleh karena itu perlu kita pahami pandangan Gustav Radburch yang menyatakan bahwa "membaharui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana, akan tetapi menggantikannya dengan yang lebih baik (Das strafrecht reformieren heiszt nich das strafrecht vebessern, sondern er ersetzen durch etwas besseres)".
IV. PENUTUP
Kebijakan hukum pidana yang diformulasikan ke dalam produk legislasi pada umumnya masih rancu dan belum tersiknkronisasi sehingga pada prakteknya menimbulkan ketidakharmonisan. Prinsip harmonisasi di dalam sistem hukum pidana adalah suatu cara merumuskan kebijakan hukum pidana, baik yang terkait dengan produk legislasi maupun penerapannya ke dalam suatu kesatuan sistem.
Melalui kesatuan sistem tersebut, diharapkan tidak saja produk legislasi akan sejalan dengan filosofi suatu perbuatan produk legislasi yaitu ius constitutum, ius constituendum, ius operatum, tetapi juga akan terhindar dari duplikasi dan polemik karena kualitas yuridis dan non yuridisnya mengandung kepastian demi terwujudnya suatu Harmonisasi Hukum Pidana yang total dan komprehensip, sehingga akan terbentuk suatu keseimbangan, antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, antara lain meliputi kepentingan masyarakat dan kepentingan perorangan, perlindungan terhadap pelaku dan korban tindak pidana, kepentingan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum serta kepentingan diakomodirnya nilai-nilai nasional dan internasional.
Oleh karena itu Idealnya para legislator seyogianya memiliki kemampuan dasar sebagai legal drafter atau memiliki pengetahuan serupa itu agar produk legislasi yang dihasilkan tidak ambiguistik, sehingga sulit diterapkan dalam tataran operasional.
Dengan memiliki referensi yang lengkap tersebut, maka diharapkan produk legislasi yang dihasilkan oleh legislator satu dengan lainnya dapat disinkronisasikan sebagai "satu kesatuan sistem hukum pidana nasional" dan harus tegas dipisahkan antara rumusan asas dengan rumusan tindak pidana, mengingat rumusan asas seharusnya bersifat dan berlaku umum terkodifikasi, berbeda dengan rumusan tindak pidana yang memungkinkan dapat bersifat khusus.
DAFTAR PUSTAKA
- A Hamid Attamimi, Kodifikasi Sebabkan Hukum Selalu Berjalan di Belakang. Kompas, tanggal 17 Februari 1988, hal. 12.
- Barda Nawawi Arief, Formulasi Ketentuan Hukum Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2012, hal.17
- Eva Steiner, French Law- A Comparative Approach, First Publish, (New York Oxford Univeristy Press Inc). Hal 42-43.
- Fockema Andreae, terjemahan Saleh Adiwinata et. Al, Kamus Istilah Hukum, cetakan pertama (Jakarta: Bina cipta, Jakarta, 1983), hal.71.
- Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, terjemahan Siwi Purwandari, Penerbit Nusa Media, Bandung, cet.II, 2009, hal.119.
- Paul H Robinson dan Marks Dirk Dubber, An Introduction to the Model Penal Code. Dikutip dari http://www.law.upenn.edu/fac/phrobins/intromodpen.code.pdf tanggal.30 Oktober 2011
- Richard Lange, Strafrechtreform, Reform im Dillema, Lihat juga Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, Hal. 61
- Van Hattum, Hand En Leerboek van het nederlanse Strafrecht I, S. Gouda Quint D. Brouwer en Zoon, Arnhem, Martinus Nijhoff, s'Gravenhage, 1953, hal. 48.
- V.C.R.A.C Crabbe, Legislative Drafting. First Published (London: Cavendish Publishing Limited, in Great Britain, 1993), hal. 193. (pertama menempatkan hukum lebih mudah diakses masyarakat dan praktisi hukum, kedua dapat memperkuat hukum itu sendiri).
- KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)
- KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
- Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK
- Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
- Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
- Prevention Of Crime and Threatment Of Offenders
- International Covenant on Civil and Political Rights
- Black's Law Dictionary
Makalah Mahasiswa Hukum
Andi Akbar Muzfa, SH