BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam syariatkan oleh Allah dengan tujuan utama merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam meyangkut seluruh aspek dharuriyat (primer), Hajjiyat (sekunder), maupun (stabilitas sosial).
Bahwasannya di dalam hukum positif yang terdapat di dalam Kitab Undang- undang hukum pidana (KUHP) pasal 263 melakukan kesalahan dalam perbuatan tindak pidana pemalsuan surat dan merugikan orang lain dan Negara maka dapat dipidana paling lama 15 (lima belas) tahun penjara.
Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun Adami chazwi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam meyangkut seluruh aspek dharuriyat (primer), Hajjiyat (sekunder ).
Sedangkan di dalam hukum Islam orang yang melakukan perbuatan tindak pidana pemalsuan surat maka akan terkena hukuman takzir. Takzir adalah hukuman yang ditetapkan syara dan diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri untuk menetapkannya, sedangkan para ulama fiqh mendefinisikannya sebagai hukuman yang wajib menjadi hak Allah atau Bani Adam pada tiap-tiap kemaksiatan yang tidak mempunyai putusan tertentu dan tidak pula adalah kefarahnya.4 Hukuman takzir ini jenisnya beragam namun secara garis besar dapat gibagi. Hukuman takzir yang berkaitan dengan empat kelompok yaitu.
- Hukuman takzir yang berkaitan dengan dengan kemerdekaan seseorang seperti hukuman penjara dan hukuman pengasingan
- Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta,seperti denda, penyitaan, perampokan harta dan penghancuran barang
- Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan seperi hukuman mati dan hukuman jilid
- Hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri dan kemaslahatan umum.5 Berdasarkan jeni-jenis hukum takzir tersebut di atas, maka hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pemalsuan surat adalah hukuman jilid dan hukuman pengasingan. Umar Ibn Al- khattab terhadap Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stetempel Bait al-mal. Demikian pula terhadap tindak pidana pemalsuan Al-Quran. Khalifah Umar Ibn Al-khattab mengasingkan Mu’an Ibn Zaidah Setelah sebelumnya dikenakan hukuman takzir.
Berdasarkan contoh kasusus yang dipaparkan di atas maka, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya perbuatan memalsukan surat merupakan perbuatan dusta (bohong), karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut terdapat perbuatan dusta yakni dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya/seharusnya di dalam surat tanda nomor kendaran bermotor (STNK) yang dipalsukan tersebut, baik mengenai tanda tangannya, stempel, maupun cara memperoleh surat tanda nomor kendaran bermotor (STNK) tersebut, seperti dengan cara instan tanpa membayar pajak kepada Negara. Di dalam Al-Qur’an sejumlah ayat yang melarang dengan tegasuntuk tidak berbuat dusta (al-Kidzb). Sebagaimana di dalam firman Allah surat al-Nahl ayat 116 :
Artinya : “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah mu secara dusta, “ ini halal dan ini haram ” untuk mengadakan kebohongan-kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. ( An-Nahl : 16 : 116 ).
Perbuatan-perbuatan yang termasuk kepada kelompok yang hukumannya dapat dijatuhkan apabila dikehendaki oleh kemaslahatan umum, tidak bisa ditentukan jenisnya, karena perbuatan tersebut tidak diharamkan karena zatnya melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada, maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut ada, maka perbuatannya diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatannya mubah. Sifat yang menjadi alasan (Illat) dikenakannya hukuman atas perbuatan tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan terdapat unsur merugikan kepentingan umum, maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenakan hukuman. Akan tetapi, apabila dalam perbuatan tersebut tidak terdapat unsur merugikan kepentingan umum, maka perbuatan tersebut bukan jarimah dan pelaku tidak dikenakan hukuman.
Melihat beberapa permasalahan mengenai pemalsuan surat tersebut itulah yang menarik perhatian penulis serta menjadi alasan bagi penulis untuk menulis judul skripsi:
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggung jawab pidana dimaksudkan untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, atau dengan kata lain adalah sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu besarnya hukuman harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, yakni tidak boleh melebihi apa yang diperlukan, atau kurang dari yang diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat serta untuk menjatuhkan akibat-akibat buruk dari perbuatan jahat.
Mengingat begitu kompleknya hal-hal yang berhubungan dengan masalah tindak pidana pemalsuan surat, dan guna menghindari kesalah fahaman serta untuk mencapai kesamaan persepsi dalam masalah yang hendak penulis bahas, maka penulis merasa perlu untuk memberikan suatu batasan dan rumusan terhadap masalah yang akan dikaji. Pembahasan skripsi ini akan dibatasi disekitar masalah-masalah tindak pidana pemalsuan surat.
Berdasarkan pokok-pokok bahasan tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut:
- Bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pemalsuan surat?
- Bagaimana kajian hukum pidana Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Depok dalam masalah tindak pidana pemalsuan surat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Menurut Hukum Pidana Islam
1. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Di dalam hukum Islam, tindak pidana dikenal dengan istilah “Jinayah” atau “Jarimah”. Pengertian “ Jinayah” yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah “Jarimah”, yang didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang pelanggarnya dikenakan hukuman baik berupa hal atau takzir.
Para ahli hukum Islam, jinayah adalah sinonim dengan kejahatan. Namun di Mesir, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Ia diterapkan untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kerja paksa seumur hidup atau penjara. Dengan kata lain hanya ditujukan bagi kejahatan-kejahatan berat. Sementara syariah memerlukan setiap kejahatan sebagai Jinayah.
Adapun pengertian jarimah dalam kamus Arab-Indonesia menurut bahasa adalah dosa atau durhaka.21. Sedangkan jinayah menurut bahasa mengandung arti kesalahan, dosa atau criminal. Sementara Ahmad Hanafi mendefinisikan jarimah sebagai delik, tindak pidana, pidana. Pengertian jarimah menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Mawardi adalah perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau takzir.
Adapun pengertian jinayat yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah “suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara baik perbuatan tesebut mengenai jiwa, harta atau lainnya. Hukum pidana Islam dalam artinya yang khusus membicarakan tentang satu persatu perbuatan beserta unsur-unsurnya yang berbentuk jarimah dibagi tiga golongan, yaitu golongan hudud yaitu golongan yang diancam dengan hukuman had, golongan qishas dan diyat yaitu golongan yang diancam dengan hukuman qishas dan diyat, dan golongan takzir yaitu golongan yang diancam dengan hukuman takzir.
Jarimah hudud terbagi kepada tujuh macam jarimah, antara lain :Jarimah zina dan Jarimah qadzaf, Jarimah syarb al-khamr dan jarimah pencurian, Jarimah hirabah, Jarimah riddah dan jarimah pemberontakan. Sedangkan jarimah qishas dan diyat hanya terbagi ke dalam dua macam yakni pembunuhan dan penganiayaan, namun apebila diperluas jumlahnya terbagi menjadi lima macam, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.
Selain dari kedua golongan jarimah tersebut termasuk dalam golongan takzir. Jarimah-jarimah takzir tidak ditentukan satu persatunya, sebab penentuan macam-macam jarimah takzir diserahkan kepada penguasa Negara pada suatu masa, dengan disesuaikan kepada kepentingan yang ada pada waktu itu.
Pengertian takzir menurut bahasa adalah menolak dan mencegah, sedangkan menurut istilah adalah hukuman-hukuman yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash syariat secara jelas dan diserahkan kepada Ulil Amri atau ijtihad hakim.
Adapun mengenai jarimah takzir, dilihat dari segi sifatnya terbagi kepada tiga bagian, yakni takzir karena telah melakukan perbuatan maksiat, takzir karena telah melakukan perbuatan merugikan atau membahayakan kepentingan umum, dan takzir karena melakukan suatu pelanggaran.
Di samping itu, apabila dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), maka takzir dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu :
- Golongan jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan Kisas, akan tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau terdapat syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab, atau pencurian yang dilakukan oleh keluarga sendiri.
- Golongan jarimah takzir yang jenisnya terdapat di dalam nash syara, akan tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap (risywah) dan mengurangi takaran atau timbangan.
- Golongan jarimah takzir yang jenis dan hukumannya belum ditentukan oleh syara. Dalam hal ini diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri untuk menentukannya, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Abdul Aziz Amir, seperti yang dikutip dari buku wardi Muslich yang berjudul Hukum Pidana Islam, membagi jarimah takzir secara rinci kepada beberapa bagian 27, yaitu :
- Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhan.
- Jarimah takzir yang berkaitan dengan pelukaan.
- Jarimah takzir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak
- Jarimah takzir yang berkaitan dengan harta
- Jarimah takzir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
- Jarimah takzir yang berkaitan dengan keamanan umum.
Lebih lanjut lagi, pada jarimah takzir yang berkaitan dengan kemashlatan umum, Abdul Aziz Amir membaginya kepada beberapa kelompok yaitu :
- Jarimah yang mengganggu keamanan Negara / pemerintah, seperti spionase san percobaa kudeta
- Jarimah risywah/ suap
- Tindakan melampaui batas dari pegawai / pejabat menjalankan kewajiban.
Misalnya penolakan hakim untuk mengadili suatu perkara, atau kesewenangan-wenangan hakim dalam menentukan suatu perkara. - Pelayanan yang buruk dari aparatur pemerintah terhadap masyarakat.
- Melawan petugas pemerintah dan membangkang terhadap peraturan, seperti melawan petugas pajak, penghinaan terhadap pengadilan, dan menganiaya polisi.
- Pemalsuan tanda tangan dan stempel.
- Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi seperti penimbunan bahan- bahan pokok, mengurangi timbangan dan takaran, dan menaikkan harga dengan semana-mena.
Apabila melihat kepada macam-macam jarimah, yakni jarimah hudud, kisas dan diyat, maka terlihat bahwa tindakan pemalsuan surat tidak termasuk ke dalam kedua macam jarimah tersebut, karena tindak pemalsuan surat baik jenisnya maupun sanksinya tidak disebutkan dalam nash.
Berdasarkan salah satu jenis jarimah takzir yang berkaitan dengan kemashlatan umum menurut Abdul Aziz Amir tersebut, yakni jarimah pemalsuan tanda tangan dan stempel, maka terlihat adanya kesesuaian antara jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel tersebut dengan tindak pidana pemalsuan surat. Mengingat dari ketiga jarimah tersebut terdapat persamaan dalam perbuatan yakni adanya perbuatannya yakni adanya perbuatan, proses atau cara memalsukan adanya objek., di mana objek tersebut bisa berupa tanda tangan, suratnya, stempel baitul mal atau al-Quran. Bahkan, apabila melihat dari kasus- kasus pemalsuan surat yang terjadi biasanya pemalsuan itu dilakukan terhadap tanda tangan pejabat atau stempel yang seharusnya ada dalam surat tersebut.
Di dalam hukum Islam belum ada pembahasan secara jelas dan khusus mengenai pemalsuan surat. Akan tetapi, terlihat adanya kesesuaian antara jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel dangan tindak pidana pemalsuan surat tersebut, maka tindak pidana pemalsuan surat ini harus dikatagorikan kedalam jarimah takzir mengingat tindak pidana pemalsuan surat ini baik jenis maupun hukumannya tidak disebutkan di dalam nash syara secara jelas.
2. Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Sebagaimana uraian sebelumnya bahwa, di dalam hukum Islam, pembahasan secara khusus dan jelas, mengenai tindak pidana pemalsuan surat ini belum ditemukan, akan tetapi, bukan berarti tidak ada ketentuan yang bisa dijadikan landasan larangan tarhadap tindak pidana pemalsuan ini, mengingat hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Quran maupun as-Sunah, untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal, relevan pada setiap zaman (waktu), dan makan (ruang) manusia.
Secara umum, perbuatan memalsukan surat merupakan perbuatan dusta (bohong), karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut terdapat perbuatan dusta yakni dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya / seharusnya di dalam surat yang dipalsukan tersebut, baik mengenai tanda tangannya, stempel maupun cara memperoleh surat tersebut, seperti dengan cara instant tanpa ingin membayar pajak kendaraan bermotor kepada Negara.
Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang melarang dengan tegas untuk tidak berbuat dusta (al-Kidzb). Secara etimologis, kata al-Kidzb difahami sebagai lawan dari al-Shidiq. Lafadz kadzaba dalam segala bentuknya terdapat 283 buah di dalam al-Quran. Ungkapan dusta dalam ayat-ayat tesebut sering ditunjukan kepada orang kafir, karena mereka tidak membenarkan Wahyu Allah, bahkan mereka sering membuat ungkapan tandingan dalam rangka mendustakan ayat. Dalam surat al-Nahl ayat 116 Allah mengingatkan :
Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang- orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung (Q.S. An-Nahl ayat 116 ).
Jelas sudah, bahwa berbohong adalah sifat tercela dan sangat berbahaya, termasuk dalam konteks pemalsuan surat yang berarti berbohong dalam memberikan keterangan yang sebenarnya di dalam isi surat tersebut.
Hukum Islam sangat mengecam perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kebohongan dan kepalsuan karena akibat-akibat buruk yang ditimbulkannya, seperti contoh perbuatan sumpah palsu dan kesaksian palsu. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim yang bersumber dari Abu Bakrah yang berbunyi :
Artinya : Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya berkata, Rasulullah SAW bersabda, maukah kalian saya beritahu tentang dosa-dosa besar?, kami menjawab tentu wahai Rasulullah, beliau bersabda, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, pada saat itu beliau duduk bersandar, lalu bersabda, juga ucapan atau kesaksian palsu, beliau terus bersabda tentang kesaksian palsu (HR. Bukhari).
Selain itu, perbuatan memalsu juga termasuk ke dalam penipuan dan pengelabuan. Islam melarang umatnya mengelabui dan menipu dalam berbagai hal, sekalipun dalam menjalankan jual beli dan seluruh permuamalahan diantara manusia. Sebab, penipuan dan pengelabuan adalah suatu perbuatan aniaya dan orang, yakni meletakan sesuatu bukan pada tempatnya. Di samping itu, penipuan dan pengelabuan merusak kewajiban tanggung jawab dan kepercayaan serta membiasakan diri memakai yang haram. Karena itu penipuan dan pengelabuan termasuk ke dalam salah satu sifat orang munafik. Orang yang menipu dan mengelabui, maka pada dirinya telah melekat seperempat kadar munafik.
Sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi :
Artinya : Dan Abdullah Ibnu Amr, bahwa nabi Muhammad Saw telah bersabda: “Ada empat perkara, barang siapa terdapat sifat itu, maka ia benar-benar seorang munafik dan barang siapa yang ada dalam dirinya salah satu dari sifat-sifat tersebut, maka ia memiliki karekter kemunafikan hingga ia melepaskannya, yaitu jika dipercaya ia berkhianat, (dalam riwayat lain: jika berjanji ia mengingkari), jika berbicara ia berdusta, jika membuat perjanjian ia tidak serta, dan jika berdebat ia berlaku curang.”(H.R. Bukhari).
Penipuan sering terjadi dalam hal jual beli, seperti dalam suatu riwayat ketika suatu hari, Rasullah Saw melewati penjual makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam barang dagangan tersebut. Ternyata didapatinya makanan yang dijual itu basah, dan sudah tidak baik untuk dimakan.33 Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah, yang berbunyi :
Artinya : Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasullah Saw Pernah berjalan melewati onggokan makanan yang akan dijual, Lalu beliau memasukan tangannya kedalam onggokan itu, maka tanpa diduga sebelumnya jari-jarinya yang basah itu seraya bertanya: “ada apa di dalamya itu?” Orang yang mempunyai makanan tersebut menjawab: “mungkin basah karena kehujanan ya Rasullah”. Lalu Rasullah pun bertanya lagi kepadanya : “mengapa tidak kamu letakkan yang basah itu di atas agar supaya diketahui orang lain? Barang siapa yang menipu, maka ia bukan termasuk umatku”. (HR. Imam Muslim).
Islam melarang segala macam bentuk penipuan dan pengelabuan, termasuk perbuatan pemalsuan surat, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan zhalim. Adapun dari segi bahasa pengertian zhalim ialah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Ia adalah perbuatan melampaui batas atau bertindak terhadap hak manusia dengan cara yang tidak benar. Allah mengharamkan manusia berlaku zhalim terhadap sesamanya sebagaimana hadist Rasullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi ;
Artinya : Dari Jabir bin Abdullah bahwasannya Rasullah Saw telah bersabda: Hindarilah kezhaliman, karena kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat kelak. Jauhilah kekikiran, karena kekikiran itu telah mencelakakan (menghancurkan) orang-orang sebelum kalian yang menyebabkan mereka menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan. (H.R. Muslim)
Berdasarkan adanya kesesuaian antara tindak pidana pemalsuan surat dengan jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel, maka tindakan Khalifah Umar ibn Al-Khatab yang pernah memberikan hukuman terhadap Mu’an ibn Zaidah, sebagai pelaku jarimah pemalsuan stempel Bait-Mal cukup untuk dijadikan landasan hukum larangan terhadap tindak pidana pemalsuan surat tersebut35. Karena tindakan pemberian hukuman oleh Khalifah Umar ibn Al- Khatab terhadap pelaku pemalsuan tersebut menunjukkan bahwa, setiap perbuatan memalsukan adalah melakukan perbuatan yang dilarang karena termasuk ke dalam perbuatan dusta, penipuan, dan pengelabuan. Sedangkan perbuatan menipu dan mengelabui merupakan perbuatan zhalim yang dapat merugikan bahkan dapat mencelakakan orang lain, karena zhalim adalah perbuatan menganiaya. Oleh karenanya harus diberikan hukuman bagi siapa saja yang melakukannya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 279.
Artinya : Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya(Al- Baqarah 279) .
3. Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Surat.
Dalam uraian sebelumya telah dikemukakanbahwa tindak pidana pemalsuan surat digolongkan kedalam jarimah takzir, karena berdasarkan kesesuaian dengan jarimah pemalsuan tanda tangan, pemalsuan stempel dan pemalsuan Al-Quran. Oleh karenanya terhadap tindak pidana pemalsuan surat maka ini dijatuhkan hukuman takzir kepada setiap pelakunya.
Hukuman takzir adalah hkuman yang belum ditetapkan syara dan diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri untuk menetapkannya. Sedangkan para ulama fiqh mendefinisikannya sebagai hukuamn yang wajib menjadi hak Allah atau bani adam pada tiap-tiap kemaksiatan yang tidak mempunyai batasan tertentu dan tidak pula ada kafarahnya36. Hukuman takzir ini jenisnya beragam namun secara garis besar dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
- Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan, seperti hukuma mati dan hukuman jilid.
- Hukuman takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman pemjara dan hukuman pengasingan.
- Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan, perampasan harta dan penghancuran barang
- hukum-hukuman lain yamg ditentukan oleh Ulil Amri demi kemashalatan umum.
Berdasarkan jenis-jenis hukuman takzir tersebut di atas, maka hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat adalah hukuman jilid dan hukuman pengangsingan. Hal ini berdasarkan atas tindakan Khalifah Umar Ibn al-Khattab terhadap Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stempel Bait al-Maal. Demikian pula terhadap tindak pidana pemalsuan al-Qura, Khalifah Umar Ibn al-Khattab mengangsingkan Mu’an Ibn Zaidah setelah sebelumnya dikenakan hukuman takzir.
Hukuman jilid dala pidana takzir ditentukan berdasarkan al-Quran, as- Sunah serta Ijma. Di dalam al-Quran misalnya terdapat dalam Surat an-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi :
Artinya : wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Annisa: 34)
Meskipun hukuman jilid merupakan hukuman had, dan dalam ayat di atas takzir tidak dijatuhkan oleh Ulil Amri melainkan oleh suami, namun oleh para ulama ayat tersebut dijadikan daar diperbolehkannya hukuman takzir dijatuhkan oleh Ulil Amri.
Sedangkan hadis yang menunjukkan bolehnya takzir dengan jilid adalah Hadis Abu Burdah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi :39
Artinya : “Dari Abu burdah al-Anshori r.a. bahwa dia mendengar Rasullah SAW bersabda: “seseorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali cambukan, kecuali dalam salah satu dari had Allah SWT”. (H.R. Muslim).
Dan pandangan para ulama, terdapat perbedaan dalam materi maksimal dan minimal hukuman jilid dalam jarimah takzir. Imam Al-Yusuf mengatakan tidak boleh lebih dari pada 39 (tiga puluh sembilan) kali dan batas serendahnya harus mampu memberikan dampak preventive dan represif. Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa batas maksimal adalah 79 (tujuh puluh sembilan) kali, dan ulama Syafiah berpendapat batas maksimal tidak boleh dari 10 (sepuluh) kali, sedang menurut Imam Maliki batas maksimal jilid dalam takzir boleh melebihi had selama mengandung kemashalatan.
Ketentuan mengenai hukuman pengangsingan redapat dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 33 yang berbunyi:
Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (Al-Maidah 33).
Meskipun ketentuan hukuman pengangsingan dalam ayat tersebut dimaksudkan kepada pelaku jarimah hudud, tetapi para ulama menerapkan hukuman pengangsingan ini dalam jarimah Takzir41.
Tempat pengangsingan menurut Imam Malik adalah Negara Muslim ke Negara non-Muslim, dan Imam Abu Hanifah menyamakannya dengan penjara, sedangkan menurut Imam Syafi’i yaitu jarak antara kota asal dengan kota pembuangannya adalah jarak perjalanan Qashar.
Adapun lama pengangsingan menurut Imam Abu Hanifah adalah 1 (satu) tahun, sedangkan Syafi’iah dan sebagian Hanabilah tidak boleh melebihi 1 (satu) tahun, dan menurut sebagian yang lain, bila hukum pengangsingan itu sebagai hukuman takzir boleh lebih dari 1 (satu) tahun.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa hukuman yang dapat diberikan kepada pelaku tendak pidana pemalsuan surat menurut hukum Islam adalah berupa hukuman takzir yakni dalam bentuk hukuman jilid dan pengangsingan.
Sebagimana Khalifah Umar Ibn al-Khattab telah mengasingkan Mu’an Ibn Zaidah yang memalsukan stempel Bait al-Maal setelah sebelumnya dijilid sebanyak 100 (seratus kali).
B. Kendala Dalam Pencegahan Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan
Untuk mencegah terjadinya tindak pidana pemalsuan, banyak sekali kendala- kendala yang dihadapi. Karena untuk mengatasinya tidaklah mudah, membutuhkan banyak dukungan dari segala unsur. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kendala- kendala yang biasanya dihadapi. Kendala-kendala tersebut antara lain :
- Kekurangsadaran dari orang-orang yang melakukan tindak pidana pemalsuan.
Bahwa dalam hal ini yang harus ditekankan adalah para pelaku tindak pidana pemalsuan. Banyak diantara para pelaku tindak pidana pemalsuan yang belum sadar mengenai apa yang diperbuatnya. Karena tindak pidana pemalsuan merupakan tindakan yang sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri sesuatu barang yang seluruh atau sebagian adalah milik oaring lain yang ada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, sehingga mereka merasa tindakannya bukan tidak pidana. - Kurangnya ketegasan dari pihak penegak hukum dalam menindak para perilaku tindak pidana pemalsuan.Bahwa dalam permasalahan untuk memberikan tindakan kepada seorang pelaku tindak pidana pemalsuan, seharusnya pihak penegak hukum wajub memberikannya sesuai hukum yang berlaku. Oleh karena itu, di sini menuntut ketegasan dari pihak penegak hukum dalam memberikan hukuman kepada pelaku tindk pidana pemalsuan
- Sulitnya menindak pelaku tindak pidana pemalsuan, apabila tidak ada pengaduan dari pihak yang merugikan. Bahwa dalam hal untuk menindak, memeriksa dan mencari bukti-bukti terhadap seorang pelaku tindak pidana pemalsuan tidaklah mudah apabila tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, untuk menghadapi kendala ini seharusnya pihak yang dirugikan beraksi cepat untuk memberikan pengaduan kepada pihak yang berwajib supaya dapat segera dilaksanakan pemeriksaan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Dalam hukum positif maupun hukum Islam berpandangan sama bahwa tindak pidana pemalsuan surat termasuk kedalam suatu tindak kejahatan atau jarimah. Karena, menurut hukum positif perbuaan tersebut dianggap melanggar ketentuan hukum yang terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum pidana pasal 263 ayat (1) dan (2), pasal 264 ayat (1) dan (2), pasal 266 ayat (1) dan (2), dan pasal 274 ayat (1) dan (2) sebagai hukum umum (Lex Generalis), sedangka menurut hukum Islam, perbuatan maksiat yang dapat membahayakan atau merugikan kepentingan umum tersebut, maka perbuatan memalsukan surat dalam hukum Islam dianggap sebagai suatu jarimah atau jinayah.
- Di dalam hukum Islam belum ditemukan pembahasan yang khusus mengenai tindak pidana pemalsuan surat. Akan tetapi, secara umum perbuatan memalsukan adalah termasuk ke dalam kebohongan (al-Kidzb), penipuan dan pengelabuan, dan merupakan perbuatan zhalim. Akab tetapi, berdasarkan adanya kesesuaian antara tindak pidana pemalsuan surat termasuk dengan jarimah pemalsuan tanda tangan dan jarimah pemalsuan stempel Bait al-Maal, maka tindak pidana pemalsuan surat bisa digolongkan kedalam jarimah takzir, mengingat tindak pidana ini baik jenis maupun hukumannya tidak disebutkan di dalam nash syara
- Menurut hukum Islam sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat adalah berbentuk hukuman takzir berupa hukuman jilid dan pengasingan. Hal ini didasarkan kepada tindakan Khalifah Umar Ibn Al- Kattab yang telah diberikan jilid sebanyak 100 (seratus) kali jilid dan hukuman pengasingan terhadap Mu’an Ibn Zaidah sebagai pelaku pemalsuan stempel Bait al-Maal.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Bani, Penterjemah Imron Rosadi, Mukhtashar shahih Muslim.
- al-Munawar Husain Agil Said, hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004).
- Ar-Ruhaly A. Ruway’I, fikih umar 2, penterjemahan. Basalamah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsan, 1994), Cet. 1.
- Ash-Shiddiqi Hasbi TM, Al-Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1998), Cet. 1. Audah Qadir Abdul, At-Tasyri’ Al-Jindi Al-Aslami, (Beirut: Ar-Risalah, 1998), Cet. chazwi Adami, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) Cet. 2.
- Doi A. Rahman I., Penjelasan Lengkap huku-hukum Allah (syara), (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1.
- Dzazuli Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
- Web/Blog https://seniorkampus.blogspot.com Tindak Pidana Pemalsuan
Semoga Bermanfaat..
Admin : Andi Syamsiah Arianti, SH
Pembina Blog : Andi Akbar Muzfa, SH.