SINKRONISASI KUHP DAN KUHAP
DALAM PROSES ACARA PIDANA
A. Latar Belakang
Hukum dan hukuman secara konsepsional berakar dari gagasan tentang keadilan. Oleh karena itu, pijakan mendasar dalam penegakan hukum adalah prinsip peradilan yang adil (fair trial). Jaminan peradilan yang adil merupakan bagian dari hak asasi manusia yaitu hak untuk memperoleh proses peradilan yang adil (right to a fair trial process).
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai pada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum dijalankan. Dalam implementasinya, proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh para penegak hukum.
Kaidah-kaidah yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan merupakan batasan yang mengikat tingkah laku orang dalam masyarakat, termasuk membatasi kewenangan para pejabat penegak hukum. Dengan demikian, peranan peraturan perundang-undangan cukup besar bila dikaitkan dengan pelaksanaan penegakan hukum oleh para penegak hukum.
Dalam konteks tersebut, tentunya sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan dari penegak hukum merupakan salah satu hal yang harus dipenuhi oleh para pembentuk UU. Sinkronisasi peraturan hukum tersebut bukan saja dalam hal penyelarasan substansi yang akan menjadi dasar kewenangan bertindak dari aparat penegak hukum, tapi yang terpenting adalah peraturan tersebut harus memiliki nilai-nilai yang hidup di masyarakat, sehingga tujuan dari implementasi hukum dalam bentuk peraturan tersebut tercapai, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat telah seharusnya dapat memberikan perubahan pada masyarakat. Pengembangan ilmu di bidang peraturan perundang-undangan dapat mendorong fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang sangat diperlukan kehadirannya, oleh karena di dalam negara yang berdasarkan atas hukum modern (verzorgingsstaat), tujuan utama dari pembentukan perundang-undangan bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang telah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utamanya adalah menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beranjak dari tema Seminar Nasional yang bertema "MEWUJUDKAN HARMONISASI HUKUM PIDANA MELALUI SINKRONISASI KUHAP DAN KUHP," maka pembahasannya akan fokus pada bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi KUHAP dengan KUHP melalui suatu pendekatan sistem agar tidak menimbulkan berbagai persoalan dalam implementasinya.
Menurut Friedman, sistem hukum pada umumnya mempunyai tiga unsur yang saling terkait dan pengaruh-mempengaruhi yang merupakan suatu totalitas yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sistem adalah "an operating unit with definite bounderies." Memahami kata sistem sebagai "an operating unit" mensyaratkan gerak dinamis antar pelbagai komponen pendukung sistem. Tiga komponen pada setiap sistem hukum menurut Friedman adalah struktur (structure), substansi (substance or the rules), dan budaya hukum (legal culture).
Sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari implementasi dari hukum itu sendiri, yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Berbagai peraturan diundangkan oleh para pembentuk undang-undang untuk berusaha mewujudkan salah satu dari tujuan hukum itu sendiri yaitu ketertiban (keteraturan).
Melihat hukum sebagai suatu peraturan, maka harus ada institusi untuk menjalankan peraturan tersebut. Suatu peraturan akan menjadi sia-sia tanpa adanya insitusi yang mengimplementasikan (aparat penegak hukum) yaitu Penyidik, Penuntut umum, Hakim, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan, serta masyarakat yang menjalankan. Tegaknya supremasi hukum itu sangat tergantung pada kejujuran para penegak hukum itu sendiri yang dalam menegakkan hukum diharapkan benar-benar dapat menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, kejujuran, dan objektif. Jika kelima pilar penegak hukum ini benar-benar menegakkan hukum dengan menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut, maka masyarakat akan menaruh respek yang tinggi terhadap para penegak hukum dan masyarakat akan terpacu untuk mentaati hukum.
B. Harmonisasi dan sinkronisasi
Peraturan perundang-undangan yang baik adalah apabila ketentuan-ketentuan di dalamnya merupakan rumusan-rumusan yang selaras, serasi, dan sesuai dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan lainnya, baik yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat (yang bersifat horisontal) maupun antara peraturan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi (yang bersifat vertikal atau hierarkhis).
Hal-hal inilah yang seringkali dimaksudkan dengan suatu sinkronisasi dan harmonisasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, dituliskan bahwa kata "sinkron" diartikan sebagai:
- sesuatu yang terjadi atau berlaku pada waktu yang sama atau serentak;
- sejalan, sejajar, sesuai, atau selaras (dengan).
Kata "sinkronisasi" diartikan sebagai perihal menyinkronkan, menyerentakkan, atau penyesuaian. Kata "harmonis" diartikan sebagai sesuatu yang bersangkut paut dengan harmoni, atau seia sekata; sedangkan kata "harmonisasi" diartikan sebagai pengharmonisan, atau upaya mencari keselarasan.
Dengan demikian pengertian "sinkronisasi dan harmonisasi" dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat diartikan sebagai suatu upaya atau suatu kegiatan untuk menyelaraskan (membuat selaras), dan menyesuaikan (membuat sesuai) antara suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, baik yang bersifat sejajar (horisontal) atau bersifat hierarkhis (vertikal). Untuk mendapatkan suatu peraturan perundang-undangan yang baik, maka sinkronisasi dan harmonisasi tidak hanya dilakukan dengan menyesuaikan dan menyelaraskan berbagai pengertian dan kalimat yang ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun penting juga dengan memperhatikan latar belakang dan konsep berfikir, serta sistem yang mempengaruhi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
Dalam upaya mewujudkan harmonisasi hukum pidana melalui KUHP dan KUHAP, maka terlebih dahulu perlu dipahami penerapan azas dan rumusan substansi RUU KUHP selaku hukum materiil serta RUU HAP sebagai hukum acara (hukum formil). Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang- undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Penggunaan hukum pidana memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan perbaikan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Dalam Hukum Acara Pidana berlaku asas umum, yaitu hanya pejabat yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang saja yang berhak melaksanakan proses pemeriksaan perkara pidana.
Penegakan hukum khususnya di dalam hukum pidana merupakan pelaksanaan hukum, untuk menentukan tentang apa yang menurut hukum dan apa yang bertentangan/ melawan hukum, menentukan tentang perbuatan mana yang dapat dihukum/ dipidana menurut ketentuan hukum pidana materiil, dan petunjuk tentang bertindak serta upaya-upaya yang diharuskan untuk kelancaran berlakunya hukum, baik sebelum maupun sesudah perbuatan melanggar hukum itu terjadi sesuai dengan ketentuan hukum pidana formil. Dalam pengertian penegakan hukum (hukum pidana) terkandung makna kekuatan yaitu kekuasaan yang harus ada untuk dapat dijalankannya fungsi hukum, sehingga penegakan hukum mempunyai kaitan antara hukum dan kekuasaan.
Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Tanpa hukum acara yang jelas dan memadai, maka pihak yang berwenang menegakkan hukum materiil akan mengalami kesulitan menegakkan hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum materiil pidana diperlukan hukum acara pidana, hukum acara pidana harus dikuasai terutama oleh para penyidik, penuntut umum, advokat, hakim, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan.
Hukum acara pidana yang harus dikuasai oleh penyidik terutama hukum acara pidana yang mengatur soal penyelidikan dan penyidikan, oleh karena tugas pokok polisi menurut hukum acara pidana (KUHAP) adalah terutama melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan. Yang menjadi tugas jaksa adalah penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim pidana. Oleh karenanya agar RUU KUHP dan RUU KUHAP yang saat ini masih dalam pembahasan DPR dengan Pemerintah kiranya benar-benar dikaji dan dibahas secara mendalam dan simultan agar nantinya jika disahkan menjadi undang-undang dapat diimplementasikan dengan baik tanpa menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Salah satu tujuan dibentuknya undang-undang adalah untuk mewujudkan ketaatan, keteraturan dan ketertiban, bukan menimbulkan kegaduhan.
C. Mekanisme Penegakan Hukum Pidana Saat ini
Ditinjau dari pendekatan sistem, kelembagaan dalam implementasi peraturan yang menegakkan hukum pidana dikenal dengan sistem peradilan pidana (SPP). Peradilan pidana yang merupakan suatu proses dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan eksekusi putusan hakim, haruslah harmonis baik dari segi pelaksanaan koordinasi antara penegak hukum yang merupakan subsistem dari SPP tersebut, juga dalam hukum materiil yang mengatur masing-masing tugas pokok dan fungsi penegak hukum itu sendiri. Ketidaksinkronan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi penegak hukum yang ada dalam SPP, akan mengakibatkan kerugian terutama bagi para pencari keadilan (justiliable).
Sistem yang terbentuk dalam peradilan pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana , menghendaki adanya diferensiasi fungsi yang dimaksudkan sebagai lembaga pengawasan antara para penegak hukum. Diferensiasi fungsi yang diatur dalam KUHAP adalah pembagian fungsi oleh para penegak hukum, yaitu fungsi penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan eksekusi putusan pengadilan dalam bentuk pemidanaan.
Fungsi yang diatur dalam KUHAP tersebut secara garis besar memberikan kewenangan yang berbeda pada masing-masing penegak hukum. Secara prinsip, fungsi penyidikan diberikan kepada penyidik (Polri), penuntutan kepada jaksa, dan pemeriksaan di pengadilan menjadi ranah utama hakim. Sistem yang dibangun oleh KUHAP memberikan pengertian bahwa masing-masing penegak hukum memiliki kewenangan yang berbeda tetapi dalam implementasinya ketiga penegak hukum tersebut harus saling berkoordinasi sebagai bagian dari pengawasan antar penegak hukum.
Bentuk pengawasan tersebut antara lain untuk setiap penyidikan yang dilakukan penyidik Polri, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) harus dikirim kepada penuntut umum, pengiriman berkas perkara kepada penuntut umum, selanjutnya penuntut umum memberitahukan kepada penyidik lengkap tidaknya berkas perkara. Namun diferensiasi fungsi ini sering dinilai terpisah secara keseluruhan. Diferensiasi yang diharapkan sebenarnya hanya terbatas pada fungsi masing-masing penegak hukum dan sesungguhnya sangat terkait serta saling mempengaruhi satu penegak hukum dengan yang lainnya.
Dalam hal inilah partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk menilai apakah fungsi dari masing-masing penegak hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai penegakan hukum tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat atau tidak ? Media untuk penilaian peraturan perundang-undangan tersebut telah jelas secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Kemudahan-kemudahan ini seharusnya dimanfaatkan sebagai suatu umpan balik (feedback ) dari masyarakat atas peraturan yang mengatur fungsi para penegak hukum. Seidman mengatakan:
"Bagaimana suatu lembaga penegak hukum akan bekerja sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi dari peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks dari kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan lain-lain yang bekerja atasnya, serta umpan balik yang datang dari pemegang peran (role occupants)."
Dengan demikian, bila ditemukan permasalahan dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan masyarakat yang dipaksa-paksa untuk dimasukan dalam skema hukum. Hal ini karena hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya.
Dalam konteks penegakan hukum positif ini, tentunya harus dilihat dari tujuan pembentukan hukum tersebut. Hukum yang dimaksudkan dalam hal ini adalah hukum yang sah yang diterapkan terhadap suatu perkara pidana melalui suatu proses peradilan pidana. Proses penegakan hukum selalu bertujuan untuk memberikan keadilan, istilah dialektisnya sebagaimana disebutkan dalam peraturan perundang-undangan memberikan pengayoman pada para pencari keadilan.
Keadilan adalah legalitas berdasarkan hukum positif. Suatu peraturan adalah adil jika benar-benar diterapkan kepada semua perkara yang menurut isinya hukum itu harus diterapkan. Suatu peraturan adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tata hukum positif, melainkan dengan penerapannya. Konsep keadilan seperti inilah yang menurut Kelsen adalah keadilan berdasarkan hukum.
Dengan demikian, konteks penegakan hukum sangatlah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam arti bagaimana perundang-undangan memberikan kewenangan bagi penegak hukum dalam menangani suatu pelanggaran atas suatu norma atau kaedah. Keberhasilan penegakan hukum haruslah dilihat secara keseluruhan, dan bukan dalam bagian yang terpisah-pisah. Demikian halnya dengan penegakan hukum pidana. Proses kebijakan dalam penegakan hukum pidana menurut Sunarto adalah melalui tahapan pertama, penetapan suatu pidana oleh pembentuk UU; kedua, pemberian pidana itu sendiri bagi mereka yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap penetapan pidana dalam UU tersebut; dan ketiga, pelaksanaan pidana bagi mereka yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Efektifitas penegakan hukum (pidana) sangat bergantung pada efektifitas pelaksanaan tahapan tersebut.
SPP sebagai suatu kesatuan harus saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Hal ini selaras dengan Muladi, yang mengemukakan bahwa integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:
- Sinkronisasi struktural adalah keserempakan dan keselarasan yang dalam kerangka hubungan antarlembaga penegak hukum;
- Sinkronisasi substansial adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan
- Sinkronisasi kultural adalah keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Hal ini selaras dengan konstruksi hukum Friedman yaitu pembangunan substansi, struktur, dan kultur hukum. Pemahaman SPP dalam hal ini harus dilihat dalam konteks seperangkat elemen atau unsur dalam suatu sistem yang bekerja secara terpadu untuk mencapai suatu tujuan, dan juga sebagai suatu gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu dengan lainnya saling bergantung.
D. Penegakan Hukum Pidana di Masa yang Akan Datang
Penegakan hukum pidana di masa yang akan datang sangat bergantung pada ide-ide yang dikonstruksikan sedemikian rupa yang diharapkan mampu menciptakan situasi dan kondisi yang dikehendaki sesuai dengan perubahan zaman dan perubahan kondisi di masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut tentunya harus dijadikan alasan dalam perubahan perumusan suatu norma, sehingga norma yang terbentuk merupakan murni kebutuhan masyarakat, dan bukan tarik menarik suatu kepentingan. Perubahan dalam penegakan hukum pidana di masa yang akan datang telah terumuskan dalam suatu konsep perubahan KUHAP, yaitu telah disusunnya Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU HAP).
Grand design perumusan RUU HAP adalah untuk menyesuaikan (sinkronisasi) perkembangan hukum pidana dengan perkembangan hukum saat ini, terutama pasca ratifikasi beberapa aturan hukum internasional ke dalam hukum nasional. Setelah kurang lebih 15 tahun masa transisi demokrasi, berbagai perubahan dalam sistem politik diikuti dengan semakin majunya perkembangan hukum yang lebih responsif dan menjamin Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya konvensi dan kovenan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah, antara lain Konvensi Anti Penyiksaan (CAT, Tahun 1998) dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR, Tahun 2005). Kedua aturan yang telah diratifikasi tersebut mengharuskan adanya kerjasama dari negara pihak untuk lebih progresif dalam mempromosikan dan menjamin perlindungan terhadap HAM. Atas dasar itulah dirasakan perlu untuk memodifikasi KUHAP.
RUU HAP merupakan perubahan kedua sistem hukum acara pidana di Indonesia setelah HIR dicabut dan diberlakukan KUHAP. Penggantian HIR itu sendiri disebabkan pertama, pertimbangan bahwa HIR merupakan produk kolonial yang tidak relevan dengan situasi dan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan tahun 1945; kedua, Indonesia memerlukan hukum acara pidana nasional yang cocok dengan kultur dan geografis Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk negara hukum; ketiga, sistem pengawasan berjenjang dalam proses penyidikan sampai pada pelimpahan perkara ke pengadilan tidak cocok dengan kehendak dan tuntutan "otonomi kelembagaan" penegak hukum sejak penyidikan sampai pada sidang pengadilan. Sudah selayaknya perlu kita kaji secara garis besar materi muatan dan substansi RUU HAP, dengan harapan agar penegakan hukum pidana yang berkualitas akan dapat terwujud.
Hukum acara pidana di masa yang akan datang telah selayaknya mengakomodir keadilan prosedural khususnya untuk masyarakat miskin dan kelompok-kelompok rentan. Pada sisi lain, hukum acara pidana harus memiliki nilai keadilan substantif, yang merupakan inti dari keaadilan itu sendiri. Keadilan substantif tidak bisa dilepaskan dari keadilan prosedural. Contoh konkrit adalah dalam sebuah kasus seorang miskin yang mencuri makanan untuk mempertahankan hidupnya karena dia tidak memiliki uang untuk membeli makanan.
Dalam kasus tersebut, perlu juga ditinjau dari perspektif bahwa negara telah gagal menjalankan kewajiban untuk mensejahterakan masyarakatnya. Pada satu sisi, ada bukti hukum yang menguatkan bahwa si miskin telah melakukan kejahatan pencurian, namun pada sisi substantif maka si miskin harus memperoleh keadilan karena dia mencuri untuk mempertahankan hidupnya. Hal tersebut berbeda dengan dengan koruptor yang hanya untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain, serta bukan untuk mempertahankan hidup.
Dengan demikian, telah menjadi kewajiban bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum pidana di masa yang akan datang untuk selalu memperhatikan keadilan substantif dalam menghadapi kasus-kasus pidana, dan jangan hanya mengedepankan keadilan prosedural. Di dalam RUU HAP sekarang ini telah mengakomodasi substansi keadilan restoratif (vide pasal 44 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) draft), dirumuskan bahwa Penuntut umum juga berwenang menghentikan penuntutan demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu, jika tindak pidana bersifat ringan, tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, tindak pidana hanya diancam pidana denda, umur tersangka pada saat melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun, dan/atau kerugian telah diganti. Substansi ini merupakan suatu bentuk kemajuan yang sangat penting dalam kerangka mewujudkan kepastian hukum dan keadilan.
Namun demikian hal tersebut akan lebih tepat apabila kewenangan tersebut diberikan pada tahap penyidikan, agar proses peradilan yang cepat, mudah dan murah dapat diimplementasikan, serta kepastian hukum dan keadilan lebih awal dapat terwujud. Hal ini mengingat tersangka telah menjalani proses penegakan hukum pada tahap penyidikan dalam kurun waktu tertentu bahkan mungkin berlarut-larut karena tidak dapat dihentikan penyidikannya, tapi setelah berkas perkara sampai di penuntut umum perkaranya akan dihentikan oleh penuntut umum. Kondisi ini juga untuk memenuhi harapan masyarakat akan rasa keadilan terhadap tindak pidana yang bersifat ringan dengan kerugian kecil yang pernah menjadi polemik dan perdebatan yang berkepanjangan seperti pencurian kakao di Pemalang, pencurian pisang di Bojonegoro, pencurian semangka, pencurian sandal, dan kecelakaan lalu lintas seorang ibu yang mengendarai sepeda motor bersama anaknya (anak meninggal dunia).
Fakta tersebut menempatkan penyidik pada posisi yang kurang menguntungkan/kurang positif, antara lain menyatakan bahwa penyidik kurang berpihak pada rasa keadilan dimasyarakat, tidak berpihak pada masyarakat kecil dan menegakkan hukum dengan kacamata kuda dan sebagainya. Walaupun secara legalitas penyidik telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara benar yaitu menegakkan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
E. Penutup
Penegakan hukum pidana pada puncaknya akan bermuara kepada KUHP sebagai hukum materiil dan KUHAP sebagai hukum formil, serta para aparat penegak hukum yang menjalankan. Dengan demikian, kualitas penegakan hukum pidana sangat bergantung pada substansi KUHP dan KUHAP, serta efektifitas para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Pengaturan dalam RUU KUHP dan RUU HAP yang masih dalam pembahasan perlu dilakukan secara holistik baik dari sisi substansi maupun prosedur, agar implementasinya dapat berjalan secara efektif dan terkoordinasi tanpa mengurangi independensi setiap aparat penegak hukum sesuai peran, tugas dan kewenangan masing-masing sesuai undang-undang, dan dalam implementasinya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Roscoe pound, bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum, namun hukum tersebut harus kompeten dan adil, hukum harus mengenal keinginan publik dan memiliki komitmen terhadap keadilan yang substantif. Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang.
Admin : Andi Akbar Muzfa, SH