Penjelasan Lengkap Tindak Pidana Pengeroyokan Orang Tak Dikenal

Pada dasarnya Pengeroyokan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh banyak orang yang jumlahnya terdiri dari dua orang atau lebih tanpa adanya batasan jumlah massanya. Penjelasan terkait pengeroyokan sendiri tidak dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sebagai Contoh, baru-baru ini terjadi penghadangan dan penembakan atau diduga saling tembak antara Pihak Kepolisian tak berseragam dengan pengawal Habib Rizik, yang kemudian mengakibatkan Tewasnya 6 orang dari pihak Habib Rizik. Nahh... Apakah itu termasuk pengeroyokan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian atau memang Pembunuhan Berencana yang coba diputar balikkan faktanya? Yuk kita bahas tuntas pada artikel ini...

Dari data yang didapat terdapat beberapa kasus tindak pidana pengeroyokan di DKI Jakarta, kota Malang dan Makassar yang terbilang cukup tinggi akan tetapi dalam penyelesaiannya mengalami pemberhentian kasus bahkan ada yang tidak terungkap. Padahal dijelaskan didalam pasal 170 KUHP bahwa setiap pelaku yang melakukan perbuatan tindak pidana pengeroyokan secara terang-terangan diancam pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan. Sehingga timbul kekaburan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum karena berdampak pada hukum itu sendiri. 

Penelitian ini menggunaka metode Yuridis Empiris dimana membahas terkait permasalahan peraturan hukum kemudian dikaitkan dengan fakta-fakta atau fenomena-fenomena dan dikaitkan dengan suatu pembahasan pada penelitian skripsi ini mengaitkan antara peraturan hukum yang berlaku dengan keadaan yang terjadi sebenarnya. Tindak pidana pengeroyokan telah memenuhi syarat- syarat sebagai perbuatan kejahatan yang bertentangan dengan Undang–Undang.

PERTANYAAN UMUM...
Jika terjadi pengeroyokan atau penganiayaan, namun tidak ada yang menyaksikan kejadian, apakah laporan ke pihak kepolisian dapat diproses, atau jika tidak dilaporkan apakah pelaku pengeroyokan sudah tidak dipermasalahkan lagi?

JAWABAN...
Tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 KUHP dan tindak pidana pengeroyokan yang diatur dalam Pasal 170 KUHP bukan merupakan delik aduan.
 
Pasal-pasal tersebut selengkapnya berbunyi:
 
Pasal 351 KUHP
  • Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
  • Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
  • Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  • Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
  • Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 
Pasal 170 KUHP
  • Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
  • Yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
  • dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat
  • dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
Tanpa adanya aduan dari korban pun, para pelaku tetap dapat diproses secara hukum menurut ketentuan dalam KUHAP. Sehingga jika ada dugaan peristiwa tindak pidana, maka korban dapat melaporkan para pelaku ke kepolisian agar dapat diproses secara hukum.
 
Upaya Keadilan Restoratif di Kepolisian
Dalam pertanyaan diatas menjelaskan bahwa para pelaku meminta perdamaian kepada korban atas perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana penganiayaan atau tindak pidana pengeroyokan. Sementara itu menurut aturan hukum yang berlaku, walaupun korban telah berdamai dengan para pelaku, tetapi para pelaku harus tetap diproses secara hukum, karena perbuatan yang diduga yang dilakukan oleh para pelaku bukan merupakan delik aduan, namun kepolisian akan mengupayakan keadilan restoratif bagi para pelaku dan korban jika telah memenuhi syarat materil dan syarat formil berdasarkan Pasal 12 Perkapolri 6/2019.
 
Syarat materil, yaitu:
  • tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;
  • tidak berdampak pada konflik sosial;
  • adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;
  • namun tetap terdapat prinsip pembatas, yaitu:
  • pada pelaku:
  • tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan
  • pelaku bukan residivis;
  • terbatas pada tindak pidana dalam proses:
  • penyelidikan; dan
  • penyidikan, sebelum Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dikirim ke Penuntut Umum.
Syarat formil, yaitu:
  • surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);
  • surat pernyataan perdamaian (akta dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan penyidik;
  • berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;
  • rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan
  • pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.
Namun pada dasarnya, proses hukum tetap berjalan walaupun sudah terjadi perdamaian antara para pelaku dan korban.
 
Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Keterangan dan Surat (Visum et Repertum)
Alat bukti yang sah dalam perkara pidana terdiri dari:
  • keterangan saksi;
  • keterangan ahli;
  • surat;
  • petunjuk;
  • keterangan terdakwa.
Untuk menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, kesalahannya harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan atas adanya 2 alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, atau yang dikenal dengan sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijstheorie).
 
Dalam pertanyaan diatas kurang lebih menyatakan bahwa tidak ada saksi yang melihat tindakan pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh para pelaku, nahhh... Saksi, menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 (hal. 92), adalah orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri

Berdasarkan pengertian saksi di atas, korban selaku orang yang mengalami suatu peristiwa pidana dapat dikategorikan sebagai saksi. Lalu, apakah seorang saksi (hanya korban) cukup untuk membuktikan suatu dugaan tindak pidana?
 
Pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP mengatur bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi, Pasal 185 ayat (3) KUHAP menegaskan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
 
Jadi menjawab pertanyaan diatas sebagai kesimpulan, peristiwa tindak pidana penganiayaan atau pengeroyokan yang terjadi dapat diproses secara hukum berdasarkan alat bukti keterangan saksi korban, alat bukti surat berupa visum et repertum, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

LANTAS BAGAIMANA DENGEN
KASUS TEWASNYA 6 ORANG PENGAWAL HABIB RIZIK?
Apakah termasuk Tindak Pidana Pengeroyokan, Penganiayaan yang mengakibatkan kematian, Pembunuhan Berencana? Atau apa menurut sobat-sobat sekalian?...




Previous
Next Post »