Kumpulan Pasal Tentang Pemerkosaan Terhadap Wanita (Update)

Pemerkosaan terhadap wanita
Pemerkosaan wanita di Indonesia dihadapkan pada batasan undang-undang tentang pemerkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap wanita. Undang-undang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan adanya penetrasi vaginal dari pelaku. Sementara itu perbuatan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan pemerkosaan. Sebagai tindak lanjut keprihatinan terhadap undang-undang perkosaan, sejak tahun 1991 telah dirancang rumusan baru mengenai peraturan untuk tindak perkosaan.

Catatan komisi nasional (Komnas) perempuan dalam 15 tahun terakhir menunjukkan bahwa setiap dua jam sekali, satu orang perempuan mengalami kasus perkosaan. Dalam satu hari, 20 orang perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Menurut Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani, permasalahan kekerasan seksual yang dimaksud bukan hanya perkosaan, melainkan bisa dikategorikan dalam 15 bentuk. Kejadian ini banyak dirasakan oleh perempuan tetapi tidak diketahui sebagai bentuk kekerasan.

15 bentuk kekerasan itu antara lain: ancaman atau percobaan perkosaan dan serangan seksual lainnya, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, kontrol seksual termasuk pemaksaan busana, dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, praktik tradisi bernuansa seksual yang berbahaya, dan atau diskriminatif. Aktivis perempuan, Wulan Danoekoesoemo, menyatakan banyak pelaku kekerasan seksual bukan orang asing bagi korbannya. Pelaku umumnya mengincar korban yang ada di dekatnya karena adanya kemudahan akses.

Menurut Saskia E. Wieringa, Ahli Kajian Gender dan Seksualitas dari Universitas Amsterdam, pemerkosaan di Indonesia sudah masuk dalam situasi sulit. Selain itu, perempuan yang sering menjadi korban juga jarang mendapat keadilan karena kejadian pemerkosaa dianggap kesalahan perempuan. Sudah menjadi wacana umum bahwa pihak laki-laki kebanyakan berpikir bisa memiliki perempuan, sehingga ketika mereka sedang naik hasrat seksualnya dan sulit dihentikan, mereka bisa melakukan pemerkosaan. Korban harus membuktikan bahwa tindak kekerasan seksual memang benar-benar terjadi, sementara pelaku tidak perlu membuktikan apapun untuk menunjukkan ia tidak bersalah. Tidak jarang korban harus berkali-kali memaparkan ulang kejadian traumatis yang dialaminya.

Terdapat stigma di masyarakat Indonesia bahwa wanita korban perkosaan adalah perempuan hina. Selain itu, terdapat pandangan bahwa yang salah adalah pihak wanita, karena mereka dengan sengaja menggoda dengan cara berpakaian atau dandanan mereka. Akibatnya, korban enggan untuk melaporkan kejadian yang ia alami supaya tidak merusak nama baiknya maupun keluarganya.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Hukum mengenai pemerkosaan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bab XIV mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan.

1. Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2. Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

3. Pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

4. Pasal 290
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
  1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
  2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
  3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas atau yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
5. Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun; (2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

6. Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

7. Pasal 293
  • (1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
  • (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
  • (3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
8. Pasal 294
  • (1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  • (2) Diancam dengan pidana yang sama:
    • 1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
    • 2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
9. Pasal 295
(1) Diancam:
  1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
  2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

10. Pasal 297
Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

11. Pasal 298
  • (1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284 - 290 dan 292 - 297, pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 5 dapat dinyatakan.
  • (2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292 - 297 dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut.
Menurut R. Soesilo, pasal 293 termasuk ke dalam Delik aduan absolut, yaitu delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Dalam hal ini, pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”. Pasal-pasal di atas selain pasal 293 tergolong dalam delik biasa sehingga dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban. Mengenai pengaduan diatur dalam KUHP Bab VII mengenai Mengajukan Dan Menarik Kembali Pengaduan Dalam Hal Kejahatan-Kejahatan Yang Hanya Dituntut Atas Pengaduan.

1. Pasal 72
  • (1) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dan orang itu umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu;
  • (2) Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.
2. Pasal 73
Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki penuntutan.

3. Pasal 74
  • (1) Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.
  • (2) Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut dalam ayat 1 belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya selama sisa yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut.
4. Pasal 75
Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.

BACA SELENGKAPNYA
Kupas Tuntas Tentang Pemerkosaan & Turunannya :
  1. Pembahasan Lengkap Pasal Pemerkosaan Pasal 285-288 KUHP 
  2. Pengertian Dan Penjelasan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP 
  3. Penjelasan Tentang Pelecehan Seksual Dan Cara Mengantisipasinya 
  4. Perbedaan Delik Pemerkosaan, Perzinahan Dan Pencabulan

HAK KORBAN PEMERKOSAAN
Sungguh sangat miris, memilukan, dan memprihatinkan kondisi moral dan akhak sebagian masyarakat saat ini. Dari hari ke hari, selalu ada berita pemerkosaan, baik terhadap orang dewasa maupun anak-anak, baik anak perempuan maupun anak lelaki. Kasus pemerkosaan pertama yang cukup heboh dimuat di media adalah kasus Sum Kuning. Kini, Yuyun, anak gadis asal Rejang Lebong, Bengkulu, berusia 14 tahun diperkosa oleh 14 anak lelaki setelah mereka meminum minuman keras (miras). Meminum miras bukan satu-satunya penyebab pemerkosaan, juga karena pelaku sering menonton pornografi.

Apakah ada perlindungan hukum secara keperdataan bagi pribadi Yuyun atau lainnya sebagai korban pemerkosaan? Dan/atau apakah ada perlindungan hukum secara keperdataan bagi keluarga (ahli waris) korban yang mati karena pemerkosaan? Perlindungan hukum publik (masyarakat) terdapat di KUHP Pasal 285 dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun bagi setiap orang (lelaki) yang melakukan pemerkosaan perempuan di luar perkawinan. Larangan pemerkosaan terhadap anak perempuan atau anak lelaki (di bawah 18 tahun) diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah oleh UU No 35 Tahun 2014 di Pasal 76D. Hukumannya, paling singkat lima tahun penjara dan paling lama 15 tahun.

Perlindungan hukum publik atas kejahatan seksual berupa pemerkosaan yang menyebabkan matinya korban pun ada dalam Pasal 339 KUHP dengan penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Jadi, pasal itu baru memberikan perlindungan hukum publik, bukan perlindungan hukum keperdataan. Pertanyaannya kemudian adalah Apakah hak korban pemerkosaan atau keluarga korban yang mati karena pemerkosaan telah dilindungi dengan hukuman penjara sebagaimana Pasal 285 KUHP atau Pasal 81 UU Perlindungan Anak? Apakah dengan hukuman penjara seumur hidup, kerugian korban dan/atau keluarganya sudah terpenuhi?

Hak keperdataan bagi, pertama, korban pemerkosaan yang sudah pasti trauma dan bisa mengalami gangguan mental (kejiwaan) berat. Kedua, jika korban hamil akibat pemerkosaan. Ketiga, bagi keluarga korban (ahli waris) jika korban kehilangan nyawa akibat pemerkosaan. Apalagi, jika korban pencari nafkah utama keluarga, maka tidak puas dengan pidana penjara. Bila dilihat dari UUD 1945 bahwa setiap orang, termasuk korban pemerkosaan berhak mendapat kehidupan yang layak sejahtera lahir batin (Pasal 28H UUD 1945), berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta bendanya (Pasal 28G ayat (1) UUD 1945), berhak untuk hidup, tidak disiksa, berhak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani, berhak beragama yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (Pasal 28I ayat (1) UUD 1945).

Maka, amat patut jika korban dan/atau keluarganya diberikan perlindungan hukum keperdataan oleh negara. Demikian pula bagi anak hasil pemerkosaan, ia berhak atas kelangsungan hidup--anak hasil pemerkosaan dalam kandungan ibunya tidak boleh diaborsi setelah melewati masa kehamilan 40 hari (Pasal 31 ayat (2) PP No 61 Tahun 2014 juncto Fatwa MUI No 4 Tahun 2005). Anak berhak tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat (2) UUD 1945).

Bila perlindungan hukum keperdataan ini tak dipenuhi, tentu mengganggu kualitas kehidupan korban dan masa depan keluarga serta anak hasil pemerkosaan. Jadi, hukuman penjara atau mati tak menyelesaikan masalah bagi korban atau keluarganya. Sekalipun terhadap anak hasil pemerkosaan bisa mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 juncto Fatwa MUI No 11 tanggal 10 Maret 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Peraturan Terhadapnya. Tapi, belum ada peraturan yang memuat tentang restitusi dan kompensasi bagi korban pemerkosaan.

Restitusi dalam Islam
Sejak awal 2002, penulis mengusulkan agar korban pornografi dan/atau pornoaksi atau ahli warisnya, baik pribadi yang kecanduan pornografi yang terbukti sebagai korban atau korban pemerkosaan dan/atau pembunuhan atau tindak pidana lainnya akibat pornografi atau pornoaksi semestinya direhabilitasi. Mereka mendapat restitusi (ganti kerugian, semacam diyat) yang pembayarannya dibebankan kepada pelaku sesuai putusan pengadilan.

Kepada korban atau keluarganya juga bisa diberi kompensasi sesuai putusan pengadilan yang pembayarannya ditanggung negara bila pelaku atau keluarganya tak dapat membayar restitusi. Tujuan restitusi maupun kompensasi adalah demi perlindungan korban. Dalam Islam, restitusi (diyat) dapat diambilkan dari baitul mal bila pelaku pembunuhan atau pelukaan setelah mendapat pemaafan dari korban atau keluarganya, ternyata tak mampu memenuhi. Hal ini sesuai tujuan pendirian baitul mal adalah untuk kepentingan Islam dan kesejahteraan umat Islam (Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, 2009, hlm 300).

Amat adil jika korban pemerkosaan mendapat restitusi dari pelaku sebagai bentuk perlindungan hukum keperdataan. Pendapat penulis ini (Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, 2010, hlm 222-224) ternyata telah dikemukakan Imam Syafi'i (767–820 M), Imam Malik (713–795 M), dan Imam Hambali (781-855 M) pada abad kedelapan dan kesembilan Masehi.

Setiap orang (lelaki) yang memperkosa perempuan, baik gadis maupun janda, maka dia (lelaki pemerkosa) harus membayar mahar mitsil atau sebesar nilai mahar. Hukuman hadd zina terhadap pemerkosa, tidak kepada korban pemerkosaan (Malik Ibn Anas, Al-Muwatta' (terjemahan), hlm 416). Berapa jumlah mahar yang dibayarkan kepada atau diterima seorang istri? Mahar adalah hak istri dan kewajiban suami (Pasal 34 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam/KHI) berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan (Pasal 31 KHI) yang jumlahnya kesepakatan kedua pihak (Pasal 30 KHI).

Namun, penentuan jumlah mahar untuk dijadikan analog (qiyas) terhadap jumlah restitusi yang wajib dibayar pemerkosa tak bisa berdasarkan ketentuan mahar dalam KHI. Penulis mengacu hadis yang disampaikan Abu Salamah bin Abdur Rahman bin Auf Az-Zuhri Al-Qurasyi bahwa ia pernah bertanya kepada Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, "Berapakah mahar Rasulullah." Aisyah menjawab, "Mas kawin (mahar) beliau kepada para istrinya adalah 12,5 uqyah."

Harga satu uqyah setara 40 dirham atau 50 dirham. Maka, 12,5 uqyah sekitar 500 dirham atau 625 dirham. Harga satu dirham setara 2,975 gram perak murni. Jadi, 500 dirham adalah 1.487,5 gram perak murni. Bila dikonversi ke rupiah saat ini, jika harga satu gram perak murni Rp 95 ribu maka 1.487,5 gram perak murni Rp 141.312.500. Ash-Shan'ani juga mengemukakan, Ummu Habibah diberi mahar oleh Rasulullah SAW dari Najasyi 4.000 dirham (11.900 gram perak murn) atau kini sekitar Rp 1.130.500.000 dan 4.000 dinar (satu dinar setara 4,25 gram emas murni) atau 17 ribu gram emas murni. Jika dikonversi ke rupiah, dengan harga satu gram emas murni Rp 550 ribu maka 17 ribu gram emas murni sekitar Rp 9,350 miliar.

Jadi, jumlah mahar Rasulullah SAW kepada Ummu Habibah jika dikonversi ke rupiah saat ini Rp 10.480.500.000. Ash-Shan'ani dalam Subulussalam (terjemahan) mengemukakan, mahar Rasulullah SAW kepada Ummu Habibah atas keikhlasan Najasyi karena memuliakan Rasulullah SAW. Ash-Shan'ani mengemukakan, menurut Imam Syafi'i, sunah penetapan mahar 500 dirham adalah tanda cinta dan hiburan bagi istri (Shan'ani: Subulussalam (terjemahan), hlm 535).

Maka, berdasarkan ta'zir (hukuman yang diserahkan kepada orang yang memenuhi syarat atau lembaga yang berwenang dalam suatu negara karena tak ada ketentuannya dalam syariat Islam) dengan menganalogikan (qiyas) mahar Rasulullah SAW kepada para istrinya, restitusi atau kompensasi bagi korban pemerkosaan paling sedikit 500 dirham dan paling banyak 4.000 dirham dan 4.000 dinar.

Dalam kasus Yuyun, para pemerkosa masing-masing dibebani restitusi sedikitnya Rp 141.312.500 dan terbanyak Rp 10.480.500.000 yang dibayar kepada korban atau ahli waris. Korban (yang masih hidup) pun harus direhabilitasi dan pelaku tetap dihukum setimpal dan menjerakan. Hukum Islam menentukan hukuman bagi pembunuh dengan sengaja (QS al-Baqarah: 178-179) atau pembunuhan tidak dengan sengaja (QS an-Nisa: 92-93). Bila terbukti Yuyun dibunuh oleh pemerkosa, ahli waris Yuyun berhak mendapatkan diyat dari pelaku, itu pun bila ahli waris Yuyun memaafkan.

Terhadap kejahatan pemerkosaan tak dapat diterapkan asas pemaafan karena hudud, antara lain, hadd zina adalah hak Allah yang hukumannya tidak bisa diubah, dihapus, diganti, ditambah, atau dikurangi oleh manusia. Jumlah diyat pembunuhan ditentukan di hadis sebanyak 100 unta dan 40 unta, di antaranya, harus unta bunting, jika terbukti. Diyat ini bentuk perlindungan hukum keperdataan bagi korban dan ahli warisnya.

Hukum Islam tak memisahkan mutlak antara hukum publik dan perdata (privat). Ketentuan diyat merupakan bentuk perlindungan publik sekaligus keperdataaan bagi pribadi korban dan keluarganya serta masyarakat. Ketentuan rehabilitasi juga sangat diperlukan bagi korban pornografi dan/atau miras. Terhadap pelaku pornografi, terutama bagi anak-anak atau orang belum dewasa, hendaknya juga direhabilitasi karena di antara mereka juga ada yang menjadi korban kelalaian orang tua dan/atau masyarakat.

Hukuman yang menjerakan, tapi tetap mendidik pelaku pornografi maupun miras yang masih anak-anak harus tetap diterapkan sesuai peraturan, terutama hukuman sosial kemasyarakatan setempat atau lainnya. Wallahu a'lam.

Dikutip dari berbagai sumber & literatur serta catatan kuliah.
Admin : Amridah Nursan, SH
Editing : Dian Ekawati, SH
Blogger : Jamilah96
https://blogger-sidrap.blogspot.com



Previous
Next Post »