05 - Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Materi Pendidikan Profesi Khusus Advokat
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Persiapan Ujian Advokat,.
Andi Akbar Muzfa SH
PKPA FHP Angkatan 3 Tahun 2017

A. Pengertian dan Sumber-sumber Hukum Acara Peradilan Tun.

Pengertian Hukum Acara PTUN

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi atau publik bertindak untuk melaksanakan dan mempertahankan hak-haknya di Peradilan Tata Usaha Negara. Secara singkat, hukum peradilan tata usaha negara merupakan hukum yang mengatur tentang tatacara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang bertugas memeriksa atau mengadili atau memutus sengketa tata usaha negara antara orang perorangan atau badan perdata dengan pejabat atau badan tata usaha negara. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Yang dimaksud “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Paradilan Tata Usaha Negara.

Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
  1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu.
  2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Tujuan tersebut diatas, kemudian ditampung dalam penjelasan umum angka ke-1 UU no. 5 Th 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya digunakan istilah UU PERATUN). Dengan demikian, fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dengan rakyat (orang atau badan hukum perdata) sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara).

Sumber-sumber Hukum Acara PTUN
Sumber Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara antara lain :
  1. Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945;
  2. Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (perubahan dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2004);
  3. Undang- Undang  No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (perubahan dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Udangn No 35 Tahun 1999, serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman.);
  4. Undang-Undang  No. 3 Tahun 2009  Tentang Mahkamah Agung (perubahan dari Undang-Undang No 14 Tahun 1985, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung);
  5. Yurisprudensi;
  6. Praktek Administrasi Negara sebagai hukum kebiasaan;
  7. Doktrin atau pendapat para ahli hukum.
B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Persidangan Kasus Peradilan tata usaha negara
(dalam Ruang Lingkup Acara PTUN).

Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan pengertian sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka dalam sengketa tata usaha negara subyek hukumnya terdiri dari :
  1. Pihak Penggugat
    Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah setiap subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1) UU no. 9 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 4 UU no. 5 tahun 1986).Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan lembaga hukum publik yang berstatus sebagai badan hukum, seperti Propinsi, Kabupaten, Departemen, dan sebagainya.Jadi, orang atau badan hukum perdata tersebut secara hukum sebagai pendukung  (pemangku) hak-hak dan kewajiban, sehingga atas dasar itu mempunyai legal standing untuk mempertahankan kepentingan yang dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

    Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan gugatannya sepanjang dapat membuktikan adanya kepentingan untuk itu.Di dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat TUN dapat menjadi Penggugat bertindak mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam mempermasalahkan prosedur penerbitan Keputusan TUNyang ditujukan kepada instansi Pemerintah yang bersangkutan.Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN tentang Pencabutan Surat Ijin Penghunian (SIP) yang ditempati instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN yang berisi perintah bongkar bangunan milik instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap pembatalan sertipikat tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya.
  2. Pihak Tergugat
    Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata (Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 ).Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan“ adalah kegiatan yang bersifat eksekusif. Dengan demikian kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang masuk dalam pengertian kegiatan legeslatif dan yudikatif, tidak masuk di dalam pengertian “urusan pemerintah“.

    Urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.Apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama ini menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan”.  Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan ketentuan hukum baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan.

    Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah pengertian Badan atau Pejabat TUN menjadi tidak terbatas pada Badan-Badan atau Pejabat-Pejabat di lingkungan eksekutif yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi siapa saja asalkan kepadanya diletakkan kewenangan untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau melakukan kegiatan urusan pemerintahan, maka terhadap Keputusan TUN yang dikeluarkannya pada prinsipnya dapat saja di jadikan obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan ada dasar wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:
    1. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif;
    2. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan;
    3. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
    4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
    5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
  3. Pihak Ketiga yang berkepentingan
    1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83);
    2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1).

  4. Pemberian Kuasa
    Apabila di kehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh seorang kuasa atau beberapa orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum atau selama perkara diperiksa. Pemberian surat kuasa yang dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus.

    Dengan pemberian surat kuasa ini, si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di persidangan bisa dilakukan secara lisan. Pemberian kuasa bisa dilakukan oleh pihak tergugat ataupun penggugat. (Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN.
     
  5. Hakim
    Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota. Namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh prosedur pemeriksaan dengan hakim tunggal (unus judex). Dalam hukum acara TUN hal ini dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1).
C. OBYEK PTUN (Keputusan TUN)
Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada isinya, yang berisi
kejelasan tentang:
  1. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
  2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan
  3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi ketiga kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Penjelasan obyek Ptun (keputusan) sebagai berikut :
  1. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
    Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.

    Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peradilan tun.
     
  2. Berisi tindakan Hukum TUN
    Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
     
  3. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan
    yang dimaksud adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara , baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang juga mengikat secara umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Jadi dalam mengeluarkan keputusan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
  4. Bersifat konkret
    diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi Komang Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Brigadir Rikosebagai Anggota Polri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut dapat dilihat dengan kasat mata.
     
  5. Bersifat individual
    diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi kepada pihak tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan tersebut.
     
  6. Bersifat final
    diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum.
     
  7. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
    Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada.
Syarat-syarat untuk sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut :
  1. Syarat Materiil :
    1. Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
    2. Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
    3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut ;
    4. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
  2. Syarat Formil :
    1. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan yang berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan, harus dipenuhi ;
    2. Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
    3. Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan dilakukannya keputusan, harus dipenuhi ;
    4. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati.
Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan bahwa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini:
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
  2. Keputusan tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
  3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
  4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
  5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; 
  7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Dengan demikian, maka keputusan-keputusan tersebut diatas tidak dapat dijadikan obyek sengketa yang menjadi kompetensi mengadili dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Pembatasan ini diadakan, oleh karena ada beberapa jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini (Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomo 9 Tahun 2004).

D. Asas-Asas dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa Asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, dikarenakan merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, kemudian Satjipto Rahardjo menambahakan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis.

Asas hukum yang terdapat di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
negara adalah:
  1. Asas praduga rechtmatig. Asas ini menyatakan setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig atau tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang disengketakan dan harus dijalankan dalam hal keputusan yang sudah dibuat sampai ada pembatalan oleh pengadilan berwenang.Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang digugat (pasal 67 ayat (1) (4) UU PTUN).
  2. Asas para pihak harus didengar. Maksudnya para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan di perhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan atau penjelasan salah satu pihak saja.  (audi et alteram partem).
  3. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).
  4. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Maksudnya sederhana dalam hukum acara, waktu yang relatif cepat dalam waktu dan murah dalam biaya ringan.
  5. Asas hakim aktif (dominus litis) maksudnya ada rapat permusyawarahan untuk menentukan gugatan dapat diterima atau tidak yg disertai pertimbangan-pertimbangan, pemeriksaan persiapan untuk memeriksa kejelasan gugatan, hakim dapat memeritahkan tergugat memberikan info-info yang dibutuhkan penggugat.
    Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN).
    Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
  6. Asas sidang terbuka untuk umum. Maksudnya asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbukan untuk umum. (pasal 70 UU PTUN).
  7. Asas peradilan berjenjang. Maksudnya Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya Asas ini, maka kesalahan dalam putusan yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi ke MA. Sedangkan keputusan yang mempunyai kekuatan Hukum tetap dapat diajukan upaya permohonan peninjauan kembali kepada MA.
  8. Asas Obyektifitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).    
  9. Asas Pembuktian Bebas Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 1865 BW. Asas ini dianut Pasal 107 UU 5/1986, kemudian dibatasi dengan ketentuan pada pasal 100 uu no 5/1986.
  10. Asas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat ( erga omnes ) , Sengkata TUN adalah sengketa diranah hukum public, yang tentu akibat hukum yang timbul dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa namun berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja. 
  11. Asas Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagi ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha Negara sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah untuk mencapai mufakat bukan secara konfrontatif. Penyelesaian melalui upaya administratif yang diatur dalam pasal 48 UUPTUN lebih menunjukkan penyelesaian ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian melalui PTUN dilakukan.
E. Perbedaan antara Hukum Acara Tun dan Hukum Acara Perdata


NO
TINJAUAN DARI SISI
HUKUM ACARA PERDATA
HUKUM ACARA PTUN
1
Objek gugatan

hukum acara perdata adalah perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
Obyek gugatan atau pangkal sengketa TUN adalah KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa
2
Kedudukan para Pihak
para pihak sesama individu, sesama badan hukum perdata, atau antara individu dengan suatu badan hukum perdata
Dalam TUN menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat
3
Gugat Rekonvensi
Dalam hukum acara perdata dikenal dengan istilah gugat rekonvensi (gugat balik) yaitu gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka
Di dalam hukum acara PTUN tidak mungkin dikenal adanya gugat rekonvensi, karena dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi balik. Kedudukan para pihak dalam hukum acara PTUN tidak berubah-ubah. Penggugat tetap merupakan individu atau badan hukum perdata, sedangkan tergugat tetap merupakan badan atau pejabat TUN. Dan yang menjadi obyek gugatan dalam hukum acara PTUN juga tidak berubah,tetap KTUN, tidak boleh yang lain
4
Tenggang waktu pengajuan gugatan
tenggang waktu mengajukan gugatan, yang mengakibatkan gugatan daluwarsa tidak begitu tegas dibanding dengan hukum acara PTUN. Dalam hukum acara perdata, memang dapat saja terjadi gugatan dianggap daluwarsa, tetapi daluwarsa gugatan itu dikarenakan kelalaian penggugat. Dalam acara perdata relative lebih lama dan setiap masalah berbeda tenggang waktunya

Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat di lakukan hanya dalam tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari, yang dihitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan TUN. Apabila gugatan tersebut diajukan setelah lewat 90 hari, maka pengadilan tidak akan menerima gugatan
5
Tuntutan dalam gugatan
Dalam hukum acara perdata tuntutan pokok selalu disertai tuntutan pengganti
hanya dikenal satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang di gugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat. Sedangkan tuntutan tambahan yang diperbolehkan hanya berupa ganti kerugian atau rehabilitasi
6
Rapat permusyawaratan
prosedur ini tidak dikenal dalam hukum acara perdata
Prosedur ini pada dasarnya memberikan wewenang kepada kepala ketua pengadilan sebelum pokok sengketanya diperiksa memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan oleh penggugat tidak diterima atau tidak berdasar
7
Pemeriksaan persiapan
tidak dikenal dalam hukum acara perdata
Hukum PTUN mengenal pemeriksaan persiapan. Pemeriksaan persiapan juga dilakukan oleh hakim sebelum pemerisaan pokok sengketa dimulai
8
Putusan verstek
Putusan verstek di kenal dalm hukum acara perdata dan boleh dijatuhkan pada hari sidang pertama, apabila tergugat tidak datang setelah dipanggil dengan patut
di dalam hukum acara PTUN tidak dikenal dengan putusan verstek, karena badan atau pejabat TUN yang digugat itu tidak mungkin tidak diketahui kedudukannya
9
Pemeriksaan acara cepat
tidak
dikenal dalam hukum acara perdata
acara PTUN dikenal dengan pemeriksaan acara cepat apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak
10
Sistem hukum pembuktian
Dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal
Dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil
11
Sifat Erga Omnesnya putusan pengadilan
Hukum acara perdata putusannya berlaku bagi pihak yang berpekara saja yang terkait dalam perkara tersebut
hukum acara PTUN, putusan pengadilan yang telah berkukuatan hukum tetap mengandung sifat erga omne, artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara
12
Hakim Ad Hoc
Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata
Hakim Ad Hoc diatur dalam pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus, maka ketua pengadilan dapat menunjuk seseorang hakim ad Hoc sebagai anggota majelis


F. Kompetensi dalam Acara Ptun
Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek,materi atau pokok sengketa.
  1. Kompetensi Relatif
    Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.

    Untuk Pengadilan Tata Usaha Negara, kompetensi relatifnya diatur dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No 51 Tahun 2009 menyatakan :
    1. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota;
    2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Pada saat ini Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia baru terdapat di 26 Propinsi dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara baru terdapat 4 yaitu PT.TUN Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar sehingga wilayah hukum PTUN meliputi beberapa kabupaten dan kota. Sedangkan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi beberapa provinsi, seperti PTUN Jakarta yang meliputi wilayah kota yang ada di Daerah khusus ibu kota Jakarta Raya sedangkan PT.TUN Jakarta meliputi beberapa Propinsi yang ada di pulau Kalimantan, Jawa Barat dan DKI.

      Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak yang bersengketa yaitu Penggugat dan Tergugat diatur tersendiri dalam pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004 dan UU No. 51 tahun 2009 yang menyebutkan:
      1. Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat;
      2. Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
      3. Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan;
      4. Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat;
      5. Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta;
      6. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.
  2. Kompetensi Absolut
    Kompetensi absolut suatu badan pengadilan adalah kewenangan yang berkaitan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek atau materi atau pokok sengketa. Adapun yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat TUN. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

    Sedangkan perbuatan Badan/Pejabat TUN lainnya baik perbuatan materiil (material daad) maupun penerbitan peraturan (regeling) masing-masing merupakan kewenangan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung Kompetensi absolut Pengadilan TUN diatur dalam pasal 1 angka 10 UU No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyebutkan : ” Sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

    Sedangkan yang dimaksud Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final sehingga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut, persyaratan keputusan TUN yang dapat menjadi obyek di Pengadilan TUN meliputi :
    1. Penetapan tertulis dan dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
    2. Berisi tindakan hukum TUN dan Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    3. Bersifat Konkrit,Individual dam Final dan juga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Ketiga persyaratan tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat dijadikan obyek sengketa di Peradilan TUN, keputusan TUN harus memenuhi ketiga persyaratan tersebut.
Selain itu kompetensi Peradilan TUN termasuk pula ketentuan yang terdapat dalam ketentuan pasal 3 UU Peratun, yaitu dalam hal Badan/Pejabat TUN tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu merupakan kewajibannya. Dalam praktek keputusan-keputusan badan/Pejabat TUN yang berpontesi menimbulkan sengketa TUN, yaitu antara lain :
  1. Keputusan tentang perizinan dan Keputusan tentang kepegawaian;
  2. Keputusan tentang status hukum, Hak dan Kewajiban.
G. Alur atau Proses persidangan dalam Acara Ptun
”PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA”


  1. Upaya Administratif
    Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, menentukan bahwa:
    1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
    2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

      Dari uraian pasal tersebut maka dapat dipahami bahwa ada dua pilihan yang dapat dilakukan apabila terjadi sengketa Tata Usaha Negara, yaitu:
      1. Pihak Penggugat wajib atau harus menempuh upaya administratif terlebih dahulu jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan tersebut diberikan wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara.
      2. Pihak Penggugat dapat langsung menempuh upaya peradilan jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan tersebut tidak diberikan wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara.
  2. Proses berpekara di Peradilan TUN pada intinya melalui tahap-tahap sebagai berikut :
    1. 1. Pemeriksaan Pendahuluan
      1. 1. Pemeriksaan administrasi  di Kepaniteraan
        Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan tahap pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar uang panjar perkara. UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tidak menentukan secara tegas pengaturan tentang penelitian segi administrasi terhadap gugatan yang telah masuk dan didaftarkan dalam register perkara di Pengadilan, akan tetapi dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan, “Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 tidak terpenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahukan dan diperingatkan”Dalam Surat Edaran MA No.2/1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun1986 diatur mengenai Penelitian Administrasi :
        1. Petugas yang berwenang untuk melakukan penelitian administrasi adalah Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda Perkara sesuai pembagian tugas yang diberikan. 
        2. Pada setiap surat gugatan yang masuk haruslah segera dibubuhi stempel dan tanggal pada sudut kiri atas halaman pertama yang menunjuk mengenai :
          1. Diterimanya surat gugatan yang bersangkutan.
          2. Setelah segala persyaratan dipenuhi dilakukan pendaftaran nomor perkaranya setelah membayar panjar biaya perkara.
        3. Perbaikan formal surat gugatan (jika memang ada).
        4. Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel, karena hal tersebut tidak disyaratkan oleh UU.
        5. Nomor Register perkara di PTTUN harus dipisahkan antara perkara tingkat banding dan perkara yang diajukan ke PTTUN sebagai instansi tingkat pertama (vide Pasal 51 ayat 3 UU No. 5 Tahun1986).
        6. Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau PTTUN harus ditulis secara lengkap termasuk kode posnya walaupun mungkin kotanya berbeda.Misalnya: Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Jalan … No…  di Sidoarjo Kode Pos ……Tentang hal ini harus disesuaikan dengan penyebutan yang telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960, Keppres No. 52 tahun 1990.
        7. a. Identitas Penggugat harus dicantumkan secara lengkap dalam surat gugatan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 56 UU No. 5 Tahun1986.
          b. Untuk memudahkan penanganan kasus-kasus dan demi keseragaman model surat      gugatan harus disebutkan terlebih dahulu nama dari pihak Penggugat pribadi (in person) dan baru disebutkan nama kuasa yang mendampingi, sehingga dalam register perkara akan tampak jelas siapa pihak-pihak yang berperkara senyatanya.
          c. Penelitian administratisi supaya dilakukan secara formal tentang bentuk dan isi gugatan sesuai Pasal 56 dan tidak menyangkut segi materiil gugatan. Namun dalam  tahap ini Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan dapat meminta kepada pihak untuk memperbaiki yang dianggap perlu. Sekalipun demikian,  Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara tersebut dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan materi gugatan.
        8. Pendaftaran perkara di tingkat pertama dan banding dimasukkan dalam register setelah yang bersangkutan membayar uang muka atau panjar biaya perkara yang ditaksir oleh panitera sesuai Pasal 59 sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Dalam perkara yang diajukan melalui pos, panitera harus memberi tahu tentang pembayaran uang muka kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama 6 (enam) bulan bagi  Penggugat itu untuk memenuhi dan kemudian diterima di Kepaniteraan Pengadilan, terhitung sejak dikirimkannya surat pemberitahuan tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima di Kepaniteraan, maka perkara Penggugat tidak akan didaftar. Walaupun gugatan yang dikirim melalui pos selama masih belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara dianggap sebagai surat biasa, akan tetapi kalau sudah jelas merupakan surat gugatan, maka harus tetap disimpan di Kepaniteraan Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Bantu Register dengan mendasar pada tanggal diterimanya gugatan tersebut, agar dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak terlampaui.
        9. Dalam hal Penggugat bertempat tinggal jauh dari PTUN dimana ia akan mendaftarkan gugatannya, maka tentang pembayaran uang muka biaya perkara dapat ditempuh dengan cara. 
        10. Panjar biaya perkara dapat dibayarkan melalui PTUN mana gugatan diajukan yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Ongkos kirim ditanggung penggugat di luar panjar biaya perkara.
        11. Panjar biaya perkara dikirim langsung kepada PTUN dimana ia mendaftarkan gugatannya.
        12. a. Dalam hal suatu pihak didampingi kuasa, maka bentuk Surat Kuasa Khusus dengan materai secukupnya, dan Surat Kuasa Khusus yang diberi cap jempol haruslah dikuatkan (waarmerking) oleh pejabat yang berwenang.
          b. Surat Kuasa Khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu dilegalisir.
          c. Dalam pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi tetapi dimungkinkan pula adanya kuasa insidentil.
          d. Surat kuasa tidak perlu didaftarkan di Kepaniteraan PTUN.
    2. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya maka setelah suatu perkara didaftarkan dalam register dan memperoleh nomor perkara, oleh staf kepaniteraan dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan kepada Ketua Pengadilan, dengan bentuk formal yang isinya pada pokoknya sebagai berikut :  
    3. Siapa subyek gugatan, dan apakah penggugat maju sendiri ataukah diwakili oleh Kuasa. 
    4. Apa yang menjadi obyek gugatan, dan apakah obyek gugatan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan TUN yang memenuhi unsur Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986. 
    5. Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan, dan apakah alasan tersebut memenuhi unsur Pasal 53 ayat 2 huruf a, b, dan c UU No. 5 Tahun 1986. (Setelah keluarnya UU No. 9 Tahun 2004 alasan gugatan mendasarkan pada Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b UU No. 9 Tahn 2004).
    6. Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, yaitu hanya pembatalan Keputusan TUN saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan, Panitera atau staf Kepaniteraan dapat memberikan catatan atas gugatan tersebut, untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan untuk ditindaklanjuti dengan Prosedur Dismissal.

  1. 2. Dismissal Prosedur oleh Ketua PTUN (Pasal 62 UU No.5/1986)
    Setelah Penelitian Administrasi, Ketua melakukan proses dismissal, berupa prosses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan atau tidak. Pemeriksaan Disimissal, dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebagai reporteur (raportir). Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila dipandang perlu.Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
    1. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
    2. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh   penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
    3. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
    4. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang digugat;
    5. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut. Hal ini dalam praktek tidak pernah dilakukan karena adanya perbaikan gugatan dalam pemeriksaan persiapan.Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua dan panitera/wakil panitera (wakil ketua dapat pula menandatangani penetapan dismissal dalam hal ketua berhalangan).

Penetapan Ketua Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi gugatan penggugat tidak diterima atau tidak berdasar, diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan terlebih dahulu memanggil kedua belah pihak untuk didengar keterangannya.Berdasarkan Surat MA.RI No.222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Perihal:Juklak bahwa agar ketua pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62  tersebut kecuali mengenai Pasal 62 ayat 1 huruf :
  1. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang  pengadilan. Pengertian “pokok gugatan” ialah fakta yang dijadikan dasar gugatan atas dasar fakta tersebut penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya. (Penjelasan Pasal 62 ayat 1 huruf a UU No5 Tahun 1986).
  2. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.Terhadap penetapan dismissal dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan. Proses perlawanan dilakukan secara singkat, serta setidak-tidaknya Penggugat/Pelawan maupun Tergugat/Terlawan didengar dalam persidangan tersebut.Berdasarkan Surat MARI No. 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Perihal : Juklak, diatur mengenai Prosedur perlawanan - Pemeriksaan terhadap perlawanan atas penetapan dismissal (Pasal 62 ayat 3 sd. 6 UU No.5/1986) tidak perlu sampai memeriksa materi gugatannya seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli, dsb.
Sedangkan penetapan dismissal harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum:
  1. Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi pengucapan putusannya harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
  2. Terhadap perlawanan yang dinyatakan benar maka dimulailah pemeriksaan terhadap pokok perkaranya mulai dengan pemeriksaan persiapan dan seterusnya.
  3. Majelis yang memeriksa pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan yang memeriksa gugatan perlawanan tersebut tetapi dengan penetapan Ketua Pengadilan. Jadi tidak dengan secara otomatis. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan maka penetapan dismissal itu gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum. Baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Apabila pihak Pelawan mengajukan permohonan banding atau upaya hukum lainnya, maka Panitera berkewajiban membuat akte penolakan banding atau upaya hukum lainnya. 
  1. 3. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 UU No.5/1986).
    Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk mematangkan perkara. Segala sesuatu yang akan dilakukan dari jalan pemeriksaan tersebut diserahkan kearifan dan kebijaksanaan ketua majelis.

    Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatan dan atau tergugat untuk dimintai keterangan/ penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara terpisah. Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah dalam sidang tertutup untuk umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan di dalam kamar kerja hakim tanpa toga.

    Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua majelis. Maksud Pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya kepada Badan/Pejabat TUN yang digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang bersangkutan dengan data-data yang diperlukan untuk mematangkan perkara itu. Dalam pemeriksaan persiapan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986 dan Surat Edaran (SEMA No. 2 Tahun1991) serta Juklak MARI (Juklak MARI No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/ X/ 1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), (Surat MARI No. 224 /Td.TUN/X/1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak).  Majelis Hakim berwenang untuk :
    1. Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari.
    2. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan, demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat bahwa penggugat dan Badan atau Pejabat TUN kedudukannya tidak sama. Dapat pula melakukan acara mendengarkan keterangan-keterangan dari Pejabat TUN lainnya atau mendengarkan keterangan siapa saja yang dipandang perlu oleh hakim serta mengumpulkan surat-surat yang dianggap perlu oleh hakim.
  • Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak disengketakan itu mungkin tidak ada dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan itu ada padanya, maka untuk kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya pada gugatan yang ia ajukan. Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki Keputusan TUN yang bersangkutan tentu tidak mungkin melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu. Untuk itu, Hakim dapat meminta kepada Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada Pengadilan Keputusan TUN yang sedang disengketakan itu. Dengan kata “sedapat mungkin” tersebut ditampung semua kemungkinan, termasuk apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.
  • Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan dari Tergugat, tidak dapat diartikan sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu harus dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.
  • Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan pelaksanaan Keputusan TUN” apabila ternyata tidak diperlukan. • 
  • Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan pemeriksaan setempat.  Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak selalu harus dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.Kalau gugatan dari Penggugat dinilai oleh Hakim sudah sempurna maka tidak perlu diadakan perbaikan gugatan. •  
Majelis Hakim juga harus menyarankan kepada penggugat untuk memperbaiki petitum gugatan yang sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 53 tentang petitum gugatan dan dalam Pasal 97 ayat 7 tentang putusan pengadilan, maka untuk keseragaman bunyi amar putusan adalah sebagai berikut  :
  1. Mengabulkan gugatan penggugat.
  2. Menyatakan batal keputusan TUN yang disengketakan yang dikeluarkan oleh nama intansi atau nama Badan/Pejabat TUN tanggal… Nomor….perihal….atau menyatakan tidak sah keputusan TUN yang disengketakan yang dikeluarkan oleh nama instansi atau nama Badan/Pejabat TUN, tanggal ….nomor…perihal…).
Selanjutnya diikuti amar berupa mewajibkan atau memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan TUN yang disengketakan. Untuk itu didalam praktek masih adanya putusan yang sifatnya deklaratoir(Menyatakan batal atau tidak sah saja) , tidak diikuti amar selanjutnya berupa :

Mewajibkan atau Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan TUN yang disengketakan. Tenggang waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan dalam fase pemeriksaan persiapan, janganlah diterapkan secara ketat sesuai bunyi penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986. Tenggang waktu 30 hari tersebut tidak bersifat memaksa maka hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima kalau penggugat baru satu kali diberi kesempatan untuk memperbaiki gugatannya. (Penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5 Tahun1986).

Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan persiapan. Setelah ditunjuk Hakim tunggal, langsung para pihak dipanggil untuk persidangan. 

  1. 2.  Pemeriksaan Persidangan (Pokok Perkara) 
    1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
      Tahap pembacaan isi gugatan dari penggugat dan pembacaan jawaban dari tergugatPasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa ”Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya”. Dalam prakteknya bisa saja hakim tidak membacakan gugatan atas persetujuan tergugat, mengingat tergugat sudah mendapatkan salinan gugatan. Begitu juga terhadap jawaban gugatan dari tergugat bisa saja tidak dibacakan oleh hakim tetapi hanya diserahkan salinannya kepada penggugat.
    2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat 1 UU No.5/1986)
      Jawaban yang diajukan oleh Tergugat dapat berupa alternatif, sebagai berikut:
      1. Eksepsi saja, yang dapat berupa:
        1. Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan (Pasal 77 ayat (1)). Eksepsi ini sebenarnya dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan dan meskipun tidak ada eksepsi tersebut, apabila hakim mengetahui karena jabatannya, wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan;
        2. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan (Pasal 77 ayat (2)). Eksepsi ini diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa;
      2. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan (Pasal 77 ayat (3)). Eksepsi ini hanya dapat diputus bersama-sama dengan pokok sengketa.
        1. Jawaban pokok sengketa dan eksepsi, atau
        2. Jawaban pokok sengketa saja.
      3. Replik (Pasal 75 ayat 1 UU No.5/1986)
        Replik diartikan penggugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap jawaban yang telah diajukan oleh tergugat. Sebelum penggugat mengajukan replik, atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 75 ayat (1), penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat. Replik diserahkan oleh penggugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada tergugat.
      4. Duplik (Pasal 75 ayat 2 UUNo.5/1986)
        Duplik diartikan tergugat mengajukan atau memberikan tanggapan terhadap replik yang telah diajukan oleh penggugat. Dalam hal ini, sebelum mengajukan duplik tergugat juga diberikan kesempatan untuk mengubah alasan yang mendasari jawabannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (Pasal 75 ayat (2)).
        Duplik diserahkan oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada penggugat. Setelah tergugat mengajukan duplik, kemudian Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang untuk memberikan kesempatan kepada penggugat dan tergugat mengajukan alat-alat bukti.
      5. Pembuktian (Pasal 100 UU No.5/1986)
        1. 1. Surat
          Surat terbagi atas :
          1. Akta,adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
            Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :
            1. Akta otentik
            2. Akta dibawah tangan
          2. Bukan akta
            Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu :
            1. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
            2. Akta otentik ada dua macam, yaitu :
              1. Akta yang dibuat oleh pejabat (AmbtelijkAkten)
              2. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)
            3. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
            4. Surat-surat lain yang bukan akta.
              Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya.
              Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai pembuktian tersebut.
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya. Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan, tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.


  1. 2. Keterangan ahli
    Di dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.

    Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal 103 UPTUN).

    Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain. Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.
  1. 3 . Keterangan saksi
    Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.Setiap orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88 UPTUN sebagai berikut :
    1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
    2. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
    3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
    4. Orang sakit ingatan.
      Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
      1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
      2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.
Adakalanya, orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu. Dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa.

Sebelum melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepecayaannya. Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN, maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib datang sendiri di persidangan. Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya, adalah :
  1. Keterangan saksi 
    1. Seorang (beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami sendiri
    2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis
    3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu.
  2. Keterangan ahli
    1. Seorang (beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa
    2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
    3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.
  1. 4. Pengakuan para pihak
    “Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan”.Menurut pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu.

    Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan saja. Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.
  1. 5. Pengetahuan hakim
    Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.
  1. 6. Kesimpulan (Pasal 97 ayat 1 UU No.5/1986)
    Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara sudah selesai. Masing-masing pihak mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan mengenai sengketa Tata Usaha Negara antara penggugat dengan tergugat, yang intinya adalah sebagai berikut:
    1. Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat agar dinyatakan batal atau tidak sah.
    2. Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan adalah sah.
  1. 7. Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)
    Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan sidang ditunda, karena Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah untuk mengambil putusan (Pasal 97 ayat (2)). Putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat (1)), artinya siapapun dapat hadir untuk mendengarkan putusan yang diucapkan. Sebagai akibat dari putusan yang diucapkan tidak dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasai 108 ayat (3)). Disamping itu putusan harus dituangkan dalam bentuk tertulis.

    Jika terdapat perbedaan antara putusan yang diucapkan dengan putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis, maka yang sah adalah putusan yang diucapkan (Sudikno Mertokusumo, 1988: 168). Hal ini juga sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

    Terhadap putusan pengadilan tersebut, penggugat dan/atau tergugat dapat menentukan sikap sebagai berikut: 
    1. Menerima putusan pengadilan;
    2. Mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, jika yang menjatuhkan putusan adalah pengadilan tata usaha negara (pasal 122)
    3. Mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, jika yang menjatuhkan putusan adalah pengadilan tinggi tata usaha negara sebagai pengadilan tingkat pertama (pasal 51 ayat (4)).
    4. Pikir-pikir dalam tenggang waktu 14 hari setelah diberitahukan secara sah putusan pengadilan, apakah menerima putusan pengadilan atau mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.
      1. Pembacaan Putusan (Pasal 108 UU No.5/1986)
        1. Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
        2. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua sidang salinan putusan ini disampaikan dengansurattercatat kepada yang bersangkutan;
        3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akibat putusan pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
      2. Materi Muatan Putusan (Pasal 109 UU No.5/1986)
        1. Kepala Putusan yang berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;
        2. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
        3. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
        4. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
        5. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
        6. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
        7. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
  1. Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 UU No.5/1986)
    1. Gugatan ditolak;
    2. Gugatan dikabulkan;
    3. Gugatan tidak diterima;
    4. Gugatan gugur.
  2. Amar tambahan dalam putusan peraturan Tun (Pasal 97 ayat 8 & 9 UU No.5/1986)
    Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN. Kewajiban sebagaimana dimaksud di atas berupa:
    1. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan;
    2. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang baru;
    3. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.
  3. Cara Pengambilan Putusan (Pasal 97 ayat 3, 4, dan 5 UU No.5/1986)
      1. Putusan dalam Musyawarah Majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil Permufakatan Bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat Putusan diambil dengan suara terbanyak;
      2. Apabila Musyawarah Majelis Sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya;
      3. Apabila dalam Musyawarah Majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
  4. Jangka Waktu Penyelesaian Sengketa TUN
    Jangka waktu penyelesaian sengketa TUN adalah maksimal 6 bulan (SEMA No. 03 Tahun 1998 Tertanggal 10 September 1998). Apabila penyelesaian lebih dari  6 bulan Hakim/Majelis  Hakim melaporkan kepada Mahkamah Agung (MA) disertai alasan-alasan.
  5. Minutasi Putusan (Pasal 109 ayat 3 UU No.5/1986)
    Putusan harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera/Panitera Pengganti yang turut bersidang  selambat-lambatnya 30 hari sesudah Putusan diucapkan.
  6. Pelaksanaan Putusan (Pasal 116 UU No.51/2009)
    1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengansurattercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat – lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja;
    2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
    3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut;
    4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif;
    5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada mediamassacetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
    6. Di samping diumumkan pada mediamassacetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan;
    7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Dihimpun dari sumber terbaik.
Andi Akbar Muzfa SH
Lulusan Fakultas Hukum UMI Makassar 2006-2011
PKPA FHP - Angkatan 3 Tahun 2017
Blogger : https://seniorkampus.blogspot.com/



Previous
Next Post »