02 - Sistem Peradilan di Indonesia

Sistem Peradilan di Indonesia
Sistem peradilan di suatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut. Menurut Eric L. Richard, sistem hukum utama di dunia adalah sebagai berikut :
  1. Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini berasal dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa Kontinental, termasuk bekas jajahannya.
  2. Common Law, hukum yang berdasarkan custom.kebiasaaan berdasarkan preseden atau judge made law. Sistem ini dipraktekkan di negara-negara Anglo Saxon, seeprti Inggris dan Amerika Serikat.
  3. Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
  4. Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.
  5. Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika yang berada di sebelah selatan Gunung Sahara.
  6. Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh - merupakan sistem hukum uang kompleks yang merupakan perpaduan antara sistem Civil Law, Common Law, dan Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat.
Pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-sistem hukum, yaitu :
  1. Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang mempunyai sifat individualistik. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb.
  2. Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu bangsa dan penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad (Soerojo Wigdjodipuro, 1995 : 13).
  3. Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, Islam telah diterima oleh Bangsa Indonesia.
Adanya pengakuan hukum Islam seperti Regeling Reglement, mulai tahun 1855, membuktikan bahwa keberadaan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum Indonesia nerdasarkan teori “Receptie” (H. Muchsin, 2004). Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan saling berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang didasari oleh pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di Indonesia”.

Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sistem yang ada hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan yang lain tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Bukti adanya hubungan antara satu lembaga pengadilan dengan lembaga pengadilan yang lainnya salah satu diantaranya adalah adanya “Perkara Koneksitas”.

Hal tersebut terdapat dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 15 UU Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai Pengadilan Khusus sebagai berikut :
  1. Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang.
  2. Pengadilan Syariah Islam di Provinsi Nangro Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan paradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut peradilan umum.
Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem peradilan yang ada di Indonesia sebagai berikut:

1. Mahkamah Agung ( UU No. 5 tahun 2004 )
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pemerintah, Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.

Susunan MA terdirin dari Pimpinan, Hakim Anggota, dan Sekretaris MA. Pimpinan MA terdiri dari seorang Ketua, dua Wakil Ketua, dan beberapa orang Ketua Muda, yang kesemuanya dalah Hakim Agung dan jumlahnya paling banyak 60 orang. Sedangkan beberapa direktur jendral dan kepala badan. Mahkamah Agung mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung, yaitu :
  1. Peradilan umum ( UU No 2 Tahun1986)
    Peradilan Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Adapun kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh lembaga-lembaga berikut ini.
    1. Pengadilan Tinggi. Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.
    2. Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan yang sehari-hari memeriksa dan memutuskan perkaratingkat pertama dari segala perkara perdata dan pidana untuk semua golongan yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota.
  2. Peradilan agama ( UU No 7 Tahun1989)
    Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam lingkungan Peradilan Agama, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh :
    1. Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibu kota Provinsi.
    2. Pengadilan Negeri Agama. Pengadilan Negeri Agama atau yang biasa disebut Pengadilan Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.
  3. Peradilan Militer (UU No 5 Tahun1950 UU No 7 Tahun1989 )
    Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer. Pengadilan dalam lingkungan militer terdiri dari :
    1. Pengadilan Militer Utama. Pengadilan Militer Utama merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding. Susunan persidangan Pengadilan Militer Utama untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat banding adalah 1 orang Hakim Ketua dan 2 orang Hakim Anggota dan dibantu 1 orang Panitera.
    2. Pengadilan Militer Tinggi. Pengadilan Militer Tinggi merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Susunan persidangan adalah 1 orang Hakim Ketua dan 2 orang Hakim Anggota yang dihadiri 1 orang Oditur Militer/ Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1orang Panitera.
    3. Pengadilan Militer. Pengadilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah. Susunan persidangan adalah 1orang Hakim Ketua dan 2 orang Hakim Anggota yang dihadiri 1orang Oditur Militer/ Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 orang Panitera
    4. Pengadilan Militer Pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan militer untuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di medan pertempuran. Susunan persidangan adalah 1 orang Hakim Ketua dengan beberapa Hakim Anggota yang keseluruhannya selalu berjumlah ganjil, yang dihadiri 1 orang Oditur Militer/ Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 orang Panitera.
  4. Peradilan Tata Usaha Negara ( UU No 5 Tahun1986)
    Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Kekuasaan Kehakiman pada Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh :
    1. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara pada tingkat banding yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Susunan pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris; dan pemimpin pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seoirang Wakil Ketua.
    2. Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara pada tingkat pertama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang:(a) meemeriksa dan memutuskan sengketa Tata Usaha Negaradi tingkat banding; (b) memeriksa dan memutuskan mengadili antara pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya; (c) memeriksa, memutus, dan menyelesaikan ditingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara.
2. Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 tahun 2003)
Salah satu lembaga tinggi negara yang melakukan kekuasaan kehakiman (bersama Mahkamah Agung) yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Susunan MK terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, serta 7 orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Hakim konstitusi harus memiliki syarat: memiliki intergritas dan kepribadian yand tidak tercela; adil; dan negarawan yang menguasai konstitusi ketatanegaraan.

3.  Komisi Yudisial (UU Nomor 22 Tahun 2004)
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota komisi yudisial harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

Komisi Yudisial terdiri dari pimpinan dan anggota. Pimpinan Komisi Yudisial terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang merangkap anggota. Komisi Yudisial mempunyai 7 orang anggota, yang merupakan pejabat negara yang direkrut dari mantan hakim, praktis hukum, akademis hukum, dan anggota masyarakat.

RANGKUMAN TAMBAHAN
MAHKAMAH AGUNG (UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2005)
I. PERADILAN UMUM
  • Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997)
  • Pengadilan Niaga (Perpu No. 1 Tahun 1989)
  • Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000)
  • Pengadilan TPK (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2002)
  • Pengadilan Hubungan Industrial (UU No. 2 Tahun 2004)
  • Mahkamah Syariah NAD (UU No. 18 Tahun 2001)
  • Pengadilan Lalu Lintas (UU No. 14 Tahun 1992)
II. PERADILAN AGAMA
Mahkamah Syariah di Nangro Aceh Darussalam apabila menyangkut peradilan Agama.

III. PERADILAN MILITER
  1. Pengadilan Militer untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat prajurit.
  2. Pengadilan Militer Tinggi, untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat perwira s.d kolonel
  3. Pengadilan Militer Utama, untuk mengadili anggota TNI yang berpangkat Jenderal.
  4. Pengadilan Militer Pertempuran, untuk mengadili anggota TNI ketika terjadi perang.
IV. PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2002)

V. PERADILAN LAIN-LAIN
  1. Mahkamah Pelayaran
  2. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
MAHKAMAH KONSTITUSI  (UU No. 24 Tahun 2003)
Tugas Mahkamah Konstitusi adalah :
  1. Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945
  2. Memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberi oleh UUD 1945.
  3. Memutus Pembubaran Partai Politik.
  4. Memutus perselisihan tentang PEMILU.
  5. Memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan Presiden/Wakil Presiden melanggar hukum, berupa : mengkhianati negara, korupsi, suap, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lainnya.
Materi Profesi Advokat
Tentang Sistem Peradilan Indonesia
Published by. Andi Akbar Muzfa SH
Blog : https://seniorkampus.blogspot.co.id/

Materi Tambahan
Tentang Mekanisme Pelaksanaan Sistem Peradilan di Indonesia
Bebas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti lepas sama sekali atau tidak terhalang, terganggu dari apapun. Kata bebas berarti juga memungkinkan seseorang dapat berbicara dan bertindak sesuai dengan keinginannya sebagai seorang individu. Kata ini seringkali diartikan sebagai sebuah perilaku pada kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Dalam aspek lain, kata ini juga dapat ditarik dalam sebuah topik pembicaraan tentang hukum.

Negara Indonesia adalah negara hukum, sesuai dengan pernyataan yang tertuang pada UUD 1945 Pasal 1 ayat 3. Indonesia juga mempunyai Sistem Pemerintahan Indonesia Orde Lama dan Sistem Pemerintahan Orde Baru yang sering kita kenal. Sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung tinggi keadilan untuk masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dukungan dalam hukum pun diwujudkan dalam sebuah sistem peradilan yang dimiliki Indonesia melalui keberadaan lembaga-lembaga peradilan dan fungsi lembaga peradilan. Lembaga-lembaga peradilan mempunyai kewenangan dalam menentukan keadilan bagi setiap permasalahan yang ada dalam masyarakat di Indonesia.

Lembaga peradilan merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk memutuskan perkara pidana maupun perdata sebagai wujud penegakan hukum. Lembaga peradilan dibentuk untuk menjadim dan melindungi kebebasan dan hak-hak asasi yang dimiliki oleh manusia serta untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dalam menjalankan proses hukum. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga peradilan menganut berbagasi asas dalam melaksanakan fungsinya yaitu asas bebas, jujur, dan tidak memihak sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981. Pada kesempatan ini, kita akan membahas salah satu asas dalam sistem peradilan di Indonesia secara lebih mendalam, yaitu asas bebas.

Sistem Peradilan di Indonesia Menurut Asas Bebas
Seperti yang kita ketahui, bebas bukan berarti berhak melakukan sesuatu sebebas-bebasnya tanpa disertai dengan tanggung jawab, begitu juga dengan lembaga peradilan di Indonesia. Kebebasan yang dimiliki oleh lembaga peradilan di Indonesia juga mempunyai Tujuan dan Fungsi Negara Indonesia diatur dalam undang-undang.

Pengaturan dalam undang-undang bukan berarti untuk membatasi kebebasan lembaga peradilan dalam memutuskan suatu perkara melainkan untuk memperkuat asas bebas yang dianut oleh lembaga peradilan. Pembatasan kebebasan dan kewenangan lembaga peradilan tertuang pada UUD 1945 Pasal 24. Asas ini menjadi salah satu dasar bagi lembaga peradilan untuk menentukan keputusan yang seadil-adilnya terhadap proses hukum yang berjalan.

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, asas bebas harus melekat pada lembaga peradilan dalam melaksanakan tugasnya. Sistem hukum internasional sama jika kita bandingkan dengan sistem peradilan di Indonesia yang mempunyai tujuan. Asas peradilan yang bebas merupakan titik pusat negara hukum yang menganut paham Rule of Law di mana hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya dan tidak memihak manapun.

Dalam lembaga peradilan, mengadili merupakan sekumpulan atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus suatu perkara. Tindakan yang dilakukan oleh hakim saat mengadili seseorang didasarkan pada asas bebas. Asas bebas dalam pelaksanaan fungsi lembaga peradilan di Indonesia antara lain sebagai berikut.

Bebas dalam mengadili
Bebas dalam mengadili bukan berarti bebas memutuskan vonis sesuai dengan keinginan lembaga peradilan. Bebas dalam mengadili yang berarti adalah Pemerintah yang Berdaulat tentunya juga mempertimbangkan kajian hasil fakta yang ada. Bebas dalam mengadili mempunyai arti bahwa seorang hakim mempunyai wewenang untuk memberikan vonis kepada yang bersalah di meja peradilan. Seorang hakim tidak bisa diintervensi oleh orang lain, termasuk oleh orang-orang yang berada dalam lembaga peradilan itu sendiri. Arti bebas dalam mengadili dari sistem peradilan di Indonesia:

Bebas dalam mengadili seringkali terbentur dengan hari nurani hakim.
Kita pernah mendengar kasus yang sempat diberitakan oleh beberapa surat kabar tentang seorang nenek yang dituntut 2,5 tahun penjara dengan denda sebesar satu juta rupiah karena mencuri singkong.

Jika asas bebas dalam mengadili yang dimiliki oleh lembaga peradilan dijalankan sebebas-bebasnya tanpa ada batasan, bisa saja hakim memvonis bebas nenek yang malang tersebut. Tapi pada kenyataannya, proses hukum tetap berjalan.

Bebas dalam mengadili juga berarti harus bisa membebaskan diri manakala diperhadapkan dengan kasus yang menyentuh perasaan pribadi hakim itu sendiri. Sebagai lembaga peradilan yang dibentuk dengan berdasarkan pada asas bebas, lembaga peradilan berhak menentukan vonis atau hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Penentuan vonis atau hukuman harus bebas dari pandangan terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan yang dimiliki oleh pelaku.

Bebas dari campur tangan pihak lain
Lembaga peradilan mempunyai hak untuk menjalankan proses hukum sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan tersebut. Proses pelaksanaan hukum yang dilakukan oleh lembaga peradilan harus bebas dari campur tangan pihak lain. Pihak lain yang dimaksud adalah pihak-pihak di  luar lembaga peradilan yang tidak memiliki kewenangan secara yuridis untuk ikut campur dalam berlajannya suatu proses hukum.

Sebagai contoh, ketika lembaga peradilan sedang menjalankan proses hukum tindak pidana pencurian, maka pihak yang berhak ikut andil adalah kepolisian, pengadilan, dan lembaga bantuan hukum. Pihak lain seperti organisasi masyarakat tidak berhak untuk ikut campur dalam jalannya proses hukum.

Asas bebas dalam bebas dari campur tangan pihak lain diterapkan untuk meminimalisir intervensi pihak-pihak lain dalam jalannya proses hukum. Hal ini berguna untuk menghindarkan proses dan keputusan hukum tidak didasarkan pada kepentingan kelompok atau golongan tertentu.

Jika pihak lain yang tidak memiliki kewenangan secara yuridis ingin melakukan sesuatu terhadap jalannya proses hukum, maka pihak tersebut hanya bisa berperan sebagai pencari informasi terhadap kemajuan jalannya proses hukum. Tentunya dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku di negara Indonesia.

Lembaga peradilan merupakan lembaga yang mempunyai wewenang khusus dalam menyelesaikan menjalankan proses hukum. Jalannya proses hukum yang dilakukan tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun. Peranyataan ini diperkuat dalam UU No. 48 Tahun 2009 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman. Jika pihak lain yang tidak mempunyai wewenang secara yuridis melakukan intervensi, lembaga peradilan berhak untuk menuntut pihak tersebut sesuai dengan peraturan atau undang-undang yang berlaku.

Sifat Dari Asas Bebas Dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Selain dari bebas dalam mengadili dan bebas dari campur tangan pihak lain, asas bebas dalam sistem peradilan juga mempunyai cakupan yang lain dalam mendukung jalannya proses hukum. Cakupan dalam asas bebas ini menyangkut tentang pelaksanaan proses hukum itu sendiri. Adapun cakupan asas bebas antara lain sebagai berikut.

Cepat, sederhana, biaya ringan

Lembaga peradilan bebas untuk menantukan jalannya proses hukum. Namun kebebasan lembaga peradilan dalam menjalankan proses hukum bukan dilakukan dengan semaunya sendiri. Jalannya proses hukum diharapkan dilakukan dengan cepat dan sederhana agar tidak terkesan berbelit-belit dalam menentukan hasil akhir dari proses hukum yang dijalankan.

Lembaga peradilan juga dibebaskan untuk menentukan biaya yang diperlukan dalam menjalankan proses hukum. Kebebasan dalam mengatur biaya tentunya juga didasrkan pada efisiensi dan efektifitas anggaran melalui prinsip sedikit biaya, hasil memuaskan. Biaya yang diperlukan oleh lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu proses hukum juga harus dapat dipertanggung jawabkan kepada lembaga yang berwenang.

Jujur, tidak memihak


Cakupan asas bebas berupa jujur dan tidak memihak  sama dengan asas bebas dalam mengadili. Lembaga peradilan diberikan kebebasan untuk mengungkapkan fakta-fakta secara jujur guna mendapatkan keputusan yang tepat dan berkeadilan. Kejujuran dalam pengungkapan fakta dilakukan untuk menghindari keberpihakan lembaga peradilan kepada pihak tertentu.

Dihimpun dari berbagai sumber.

Published by. Andi Akbar Muzfa SH
Blog : https://seniorkampus.blogspot.co.id/



Previous
Next Post »